TATO

id TATO

TATO

Tato berfungsi sebagaisemacam kartu pengenal

Di Indonesia, jenis tato tertua adalah tato yang dimiliki oleh suku Mentawai, tato tersebut bersifat dan biasanya hanya berbentuk huruf. Bagi kalangan pelaku kriminal, tato adalah penanda. Seperti sebagian orang yang lain, mereka memanfaatkan tato untuk menunjukkan identitas kelompok. Tapi, ada juga tato yang memiliki sejarah sebagai alat ritual. Menurut catatan sejarah, orang Mentawai sudah menato badan sejak kedatangan mereka ke pantai barat Sumatera. Bangsa Proto Melayu ini datang dari daratan Asia (Indocina), pada Zaman Logam, 1500 SM-500 SM. Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah titi. Dalam penelitian Ady Rosa, selain Mentawai dan Mesir, tato juga terdapat di Siberia (300 SM), Inggris (54 SM), Indian Haida di Amerika, suku-suku di Eskimo, Hawaii, dan Kepulauan Marquesas. Budaya rajah ini juga ditemukan pada suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, suku Maori di Selandia Baru, suku Dayak di Kalimantan, dan suku Sumba di Sumatera Barat. Bagi orang Mentawai, tato merupakan roh kehidupan. Tato memiliki empat kedudukan pada masyarakat ini, salah satunya adalah untuk menunjukkan jati diri dan perbedaan status sosial atau profesi. Tato dukun sikerei, misalnya, berbeda dengan tato ahli berburu. Ahli berburu dikenal lewat gambar binatang tangkapannya, seperti babi, rusa, kera, burung, atau buaya. Sikerei diketahui dari tato bintang sibalu-balu di badannya. Bagi masyarakat Mentawai, tato juga memiliki fungsi sebagai simbol keseimbangan alam. Dalam masyarakat itu, benda-benda seperti batu, hewan, dan tumbuhan harus diabadikan di atas tubuh Fungsi tato yang lain adalah keindahan. Maka masyarakat Mentawai juga bebas menato tubuh sesuai dengan kreativitasnya. Kedudukan tato diatur oleh kepercayaan suku Mentawai, ''Arat Sabulungan''. Istilah ini berasal dari kata sa (se) atau sekumpulan, serta bulung atau daun. Sekumpulan daun itu dirangkai dalam lingkaran yang terbuat dari pucuk enau atau rumbia, yang diyakini memiliki tenaga gaib kere atau ketse. Inilah yang kemudian dipakai sebagai media pemujaan Tai Kabagat Koat (Dewa Laut), Tai Ka-leleu (roh hutan dan gunung), dan Tai Ka Manua (roh awang-awang). Arat Sabulungan dipakai dalam setiap upacara kelahiran, perkawinan, pengobatan, pindah rumah, dan penatoan. Ketika anak lelaki memasuki akil balig, usia 11-12 tahun, orangtua memanggil sikerei dan rimata (kepala suku). Mereka akan berunding menentukan hari dan bulan pelaksanaan penatoan. Setelah itu, dipilihlah sipatiti --seniman tato. Sipatiti ini bukanlah jabatan berdasarkan pengangkatan masyarakat, seperti dukun atau kepala suku, melainkan profesi laki-laki. Keahliannya harus dibayar dengan seekor babi. Sebelum penatoan akan dilakukan punen enegat, alias upacara inisiasi yang dipimpin sikerei, di puturukat (galeri milik sipatiti). Tubuh bocah yang akan ditato itu lalu mulai digambar dengan lidi. Sketsa di atas tubuh itu kemudian ditusuk dengan jarum bertangkai kayu yang dipukul pelan-pelan dengan kayu pemukul untuk memasukkan zat pewarna ke dalam lapisan kulit. Pewarna yang dipakai adalah campuran daun pisang dan arang tempurung kelapa. Janji Gagak Borneo merupakan tahap penatoan awal, dilakukan di bagian pangkal lengan. Ketika usianya menginjak dewasa, tatonya dilanjutkan dengan pola durukat di dada, titi takep di tangan, titi rere pada paha dan kaki, titi puso di atas perut, kemudian titi teytey pada pinggang dan punggung. Ditemukan juga bahwa tato pada masyarakat Mentawai berhubungan erat dengan budaya dongson di Vietnam. Diduga, dari sinilah orang Mentawai berasal. Dari negeri moyang itu, mereka berlayar ke Samudra Pasifik dan Selandia Baru. Akibatnya, motif serupa ditemui juga pada beberapa suku di Hawaii, Kepulauan Marquesas, suku Rapa Nui di Kepulauan Easter, serta suku Maori di Selandia Baru. Di Indonesia, tato orang mentawai lebih demokratis dibandingkan pada masyarakat dayak yang lebih cenderung menunjukkan status kekayaan seseorang makin bertato, makin kaya. Dalam keyakinan masyarakat Dayak, contohnya bagi Dayak Iban dan Dayak Kayan, tato adalah wujud penghormatan kepada leluhur. Di kedua suku itu, menato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk mengungkapkan penguasa alam. Tato juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta mengusir penyakit ataupun roh kematian. Tato sebagai wujud ungkapan kepada Tuhan terkait dengan kosmologi Dayak. Bagi masyarakat Dayak, alam terbagi tiga: atas, tengah, dan bawah. Simbol yang mewakili kosmos atas terlihat pada motif tato burung enggang, bulan, dan matahari. Dunia tengah, tempat hidup manusia, disimbolkan dengan pohon kehidupan. Sedangkan ular naga adalah motif yang memperlihatkan dunia bawah. Charles Hose, opsir Inggris di Kantor Pelayanan Sipil Sarawak pada 1884 dalam bukunya Natural Man, A Record from Borneo , menceritakan janji burung gagak borneo dan burung kuau argus untuk saling menghiasi bulu mereka. Dalam legenda itu, gagak berhasil mulus melakukan tugasnya. Sayang, kuau adalah burung bodoh. Karena tak mampu, akhirnya kuau argus meminta burung gagak untuk duduk di atas semangkuk tinta, lalu menggosokkannya ke seluruh tubuh kuau, pemakan bangkai itu. Sejak saat itulah, konon, burung gagak dan burung kuau memiliki warna bulu dan ''dandanan'' seperti sekarang. Secara luas, tato ditemukan di seluruh masyarakat Dayak. Namun, Hose menilai, teknik dan desain tato terbaik dimiliki suku Kayan. Bagi suku ini, penatoan hanya dilakukan bila memenuhi syarat tertentu. Bagi lelaki, proses penatoan dilakukan setelah ia bisa mengayau kepala musuh. Namun, tradisi tato bagi laki-laki ini perlahan tenggelam sejalan dengan larangan mengayau. Maka, setelah ada pelarangan itu, tato hanya muncul untuk kepentingan estetika. Tapi, tradisi tato tak hilang pada kaum perempuan. Hingga kini, mereka menganggap tato sebagai lambang keindahan dan harga diri. Meski masyarakat Dayak tidak mengenal kasta, tedak kayaan, alias perempuan tak bertato, dianggap lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan yang bertato. Ada tiga macam tato yang biasa disandang perempuan Dayak Kayan. Antara lain tedak kassa, yang meliputi seluruh kaki dan dipakai setelah dewasa. Lainnya adalah tedak usuu di seluruh tangan, dan tedak hapii di seluruh paha. Di kalangan suku Dayak Kenyah, penatoan dimulai ketika seorang wanita berusia 16 tahun, atau setelah haid pertama. Upacara adat dilakukan di sebuah rumah khusus. Selama penatoan, semua kaum pria dalam rumah tersebut tidak boleh keluar dari rumah. Selain itu, seluruh anggota keluarga juga wajib menjalani berbagai pantangan. Konon, kalau pantangan itu dilanggar, keselamatan orang yang ditato akan terancam. Dulu, agar anak yang ditato tidak bergerak, lesung besar diletakkan di atas tubuhnya. Kalau si anak sampai menangis, tangisan itu harus dilakukan dalam alunan nada yang juga khusus. Di masyarakat Dayak Iban, tato menggambarkan status sosial. Kepala adat, kepala kampung, dan panglima perang menato diri dengan simbol dunia atas. Simbol dunia bawah hanya menghiasi tubuh masyarakat biasa. Motif ini diwariskan turun-temurun untuk menunjukkan garis kekerabatan seseorang.