3 Mei Momentum Kebebasan Pers Lebih Baik

id Hari Kebebasan Pers Dunia, Momentum, Kebebasan, Pers, Lebih, Baik, AJI

3 Mei Momentum Kebebasan Pers Lebih Baik

Anggota Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) berpose menggunakan poster ketika mengikuti aksi Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng. (Antara)

Jakarta, (Antara) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta berharap peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day) yang jatuh pada 3 Mei merupakan momentum kebebasan pers lebih baik.

Bagi jurnalis, perusahaan media, pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat Hari kebebasan Pers Dunia untuk merefleksikan kembali praktik kebebasan pers dan independensi media di Indonesia, sebagai prasyarat sebuah negara yang demokratis.

Siaran pers yang diterima Antara, Minggu, menyebutkan dalam momentum ini, AJI Jakarta kembali menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers, terutama pemidanaan dan kekerasan yang menimpa jurnalis dan media di Jakarta dan sekitarnya selama setahun terakhir.

AJI Jakarta juga menyoroti ancaman terhadap kebebasan pers yang berasal dari dalam, yakni intervensi pemilik modal ke dalam ruang redaksi (newsroom).

Kasus pemidanaan yang mendapat sorotan keras satu tahun terakhir adalah langkah Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodiningrat sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan penistaan agama.

Atas tuduhan ini Meidyatama terancam hukuman penjara di atas lima tahun. Meidyatama menjadi tersangka pada Desember 2014 setelah The Jakarta Post pada Juli 2014 memuat karikatur yang mengkritik kekerasan dan pembunuhan atas nama agama yang dilakukan oleh "Islamic State of Iraq and Syria" (ISIS) atau "Islamic State" (IS). Pelapornya adalah kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan isi karikatur tersebut.

Sampai kini Meidyatama masih berstatus tersangka. Polda Metro Jaya hingga kini belum menghentikan kasus tersebut, meskipun Dewan Pers sudah merekomendasikan agar kepolisian menghentikan kasus Jakarta Post dan mencabut status tersangka terhadap Meidyatama. Tapi sampai hari ini, status tersangka masih melekat pada Meidyatama.

Sementara ancaman terhadap kebebasan pers lainnya adalah langkah Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) yang melaporkan Majalah Tempo ke Mabes Polri atas berita yang memuat aliran dana yang diduga melibatkan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, akhir Januari 2015 lalu.

Pelapor hendak memidanakan Tempo karena majalah ini dianggap menyebarkan data-data rahasia perbankan. Dalam kasus ini, Dewan Pers menyatakan pemberitaan tentang aliran dana Budi Gunawan tersebut telah sesuai dengan kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers, sehingga tidak layak dipidanakan. Kasus ini kini ditangani oleh Polda Metro Jaya.

Selain masalah kriminalisasi dan pemidanaan akibat pemberitaan, kekerasan juga masih menghantui para jurnalis. Sejak awal tahun 2015 saja, sejumlah kekerasan kerap menimpa jurnalis yang sedang melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Kasus terbaru, pekan lalu, kontributor RCTI Rani Sanjaya dan Berita Satu TV Robi Kurniawan dikeroyok dan dipukul oleh belasan petugas keamanan saat meliput aksi protes yang dilakukan penghuni Apartemen Cempaka Mas, Jakarta Pusat.

Selain itu, jurnalis lain yang mendapat intimidasi dari petugas keamanan setempat adalah Muhammad Rizki (Metro TV) dan Samarta (SCTV). Sampai kini Kepolisian Resort Jakarta Pusat belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.

Sebelumnya, akhir Februari 2015 lalu, jurnalis harian Radar Bekasi, Randy Yosetiawan Priogo, juga dikeroyok oleh seorang politikus lokal dari Partai Amanat Nasional Kota Bekasi.

Kekerasan ini terjadi sehari setelah Radar Bekasi memuat berita ihwal PAN Kota Bekasi. Dua tersangka sudah ditahan di Kepolisian Resort Bekasi Kota, tapi sampai kini mereka belum diadili.

Belakangan, Randy dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik atas pemberitaan tersebut. Pelapornya adalah Ketua PAN Bekasi Utara Iriansyah. Dalam kasus pelaporan pencemaran nama baik, Kepolisian Resort Bekasi Kota tidak meneruskan kasus tersebut, karena menilai masalah itu masuk ranah jurnalistik.

Ancaman terhadap kebebasan pers lainnya berupa intervensi pemilik televisi kepada ruang redaksi. Kondisi terjadi sejak pemilihan umum 2014 hingga kini. Secara kasat mata, sebagian besar pemberitaan di Metro TV, TV One, ANTV, dan MNC Grup (RCTI, Global TV, dan MNC TV) hanya menjadi corong politik pemiliknya yang juga seorang politikus.

Metro TV dimiliki oleh Surya Paloh, pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem); TV One dan ANTV dimiliki oleh Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar hasil Kongres Bali; dan MNC grup milik Hary Tanoesoedibjo, pengusaha yang juga Ketua Umum Partai Perindo dan bekas Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Terkadang, siaran berita yang bias kepentingan politik pemiliknya muncul di televisi milik pengusaha Chairul Tanjung (Trans TV dan Trans 7) berupa pidato pejabat tertentu dalam durasi yang cukup panjang.

Para pemilik televisi yang juga seorang politikus jelas-jelas telah menyalahgunaan izin siaran. Sebab mereka telah menggunakan frekuensi milik negara yang bersifat sangat terbatas itu untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Karena itu, AJI Jakarta mendesak pemerintah mencabut izin penyiaran televisi tersebut karena mereka telah menyalahgunakan frekuensi publik milik negara.

Mereka sudah tidak memenuhi syarat penggunaan frekuensi sebagaimana ditentuntukan di dalam Undang-Undang (UU) No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mewajibkan setiap frekuensi digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan umum masyarakat, antara lain melalui pemberitaan yang berimbang dan independen.

Dari serentetan kasus yang terjadi sejak tahun lalu itu, AJI Jakarta menilai bahwa media dan jurnalis di Jakarta dan sekitarnya masih menghadapi ancaman kriminalisasi dan tindakan kekerasan.

Selain itu, AJI Jakarta menilai kepolisian masih belum memahami dengan baik bahwa jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalistik dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Kepolisian hendaknya tidak serta merta memproses laporan masyarakat terkait jurnalistik dengan pasal pidana.

Sebab, berdasarkan UU Pers, segala kasus yang terkait dengan sengketa produk jurnalistik harus diselesaikan lewat Dewan Pers.

Di Hari Kebebasan Pers Dunia ini, AJI Jakarta mengingatkan kembali kepada kepolisian untuk merujuk UU Pers saat menangani laporan masyarakat seputar sengketa pemberitaan.

Semangat undang undang yang diterbitkan di awal era reformasi ini adalah melindungi jurnalis dan kebebasan pers. Rujukan lain aparat kepolisian ialah Nota Kesepahaman antara Kepala Kepolisian dan Dewan Pers, yang intinya segala sengketa pemberitaan harus dimediasi oleh Dewan Pers.

Meskipun jurnalis masih sering mengalami ancaman berupa kekerasan, kriminalisasi atau pemidanaan hingga intervensi pemilik, di Hari Kebebasan Pers Dunia, AJI Jakarta menyerukan kepada jurnalis di Jakarta dan sekitarnya untuk tetap dan selalu menegakkan kode etik jurnalistik serta kode perilaku dalam setiap kegiatan jurnalistik dan terus meningkatkan kualitas karya jurnalistik.

Dengan proses kerja dan karya jurnalistik yang taat kode etik serta kode perilaku, berbagai ancaman tersebut dapat dihindari dan dilawan. (*)