KPK Tolak Perubahan Permohonan Praperadilan Ilham Arief

id KPK, Praperadilan, Ilham Arief

Jakarta, (Antara) - Komisi Pemberantasan Korupsi menolak perubahan permohonan praperadilan yang diajukan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin atas penetapannya sebagai tersangka korupsi keuangan PDAM di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan tersebut pada 2006.

Penolakan tersebut didasarkan pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 547 K/Sip/1973 tanggal 17 Desember 1975 yang menyatakan bahwa perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan tentang pokok gugatan, oleh karena itu harus ditolak.

"Dengan demikian termohon menolak perubahan permohonan yang disampaikan oleh pemohon pada tanggal 4 Mei 2015 dan termohon hanya akan menjawab permohonan pemohon tanggal 10 April 2015," ujar anggota Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang saat membacakan jawaban atas permohonan praperadilan Ilham di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.

Tim kuasa hukum Ilham pada sidang pertama, Senin (4/5), mengajukan perubahan permohonan yang antara lain berisi penambahan materi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 28 April 2015 tentang tersangka bisa mengajukan praperadilan, perubahan posita permohonan dengan menambahkan dalil-dalil dalam posita yaitu terkait kerugian negara, bukti permulaan yang cukup, serta penambahan petitum terkait penggeledahan.

Oleh karena itu, dalam menanggapi permohonan praperadilan Ilham, KPK tetap berpegang pada ketentuan Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf b KUHAP yang mengatur secara limitatif bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.

KPK juga berpendapat bahwa permohonan praperadilan Ilham tidak jelas atau kabur (obscuur libellum) karena dalam dalil permohonannya, kuasa hukum Ilham tidaj menjelaskan latar belakang dan dasar diajukannya permohonan.

"Bahwa dalam petitum permohonannya, pemohon meminta (hakim) menyatakan tidak sah pemblokiran sejumlah rekening pemohon tanpa menjelaskan apa alasannya sehingga pemblokiran yang secara sah dilakukan oleh termohon harus dinyatakan tidak sah oleh hakim praperadilan," tutur Rasamala.

Rasamala juga menjelaskan bahwa tindakan penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, dan penyitaan yang dilakukan KPK atas Ilham Arief telah sesuai dengan prosedur yang diatur baik dalam KUHAP, UU KPK, maupun UU Tindak Pidana Korupsi.

Terkait dengan lamanya proses penyidikan yang dikeluhkan oleh pihak Ilham, ia mengatakan bahwa proses pelimpahan perkara untuk sampai ke pengadilan membutuhkan persiapan matang agar dugaan tindak pidana tersebut dapat dibujtikan dengan baik sesuai Pasal 50 KUHAP.

"Bahwa sejak pemohon ditetapkan sebagai tersangka sampai perkara aquo disidangkan, termohon secara intensif terus melaksanakan rangkaian proses penyidikan yang dapat dibuktikan dengan surat perintah penyitaan," tuturnya.

Untuk itu, KPK meminta hakim praperadilan untuk menolak seluruhnya permohonan praperadilan Ilham Arief atau setidaknya menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima.

Sidang praperadilan yang dipimpin oleh hakim tunggal Yuningtyas Upiek itu akan dilanjutkan pada Rabu (6/5) dengan agenda pemeriksaan bukti tertulis dan pemeriksaan saksi dari pihak Ilham Arief.

Sebelumnya, Wali Kota Makassar periode 2004-2009 dan 2009-2014 itu ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, sehari sebelum masa jabatannya berakhir atau tepatnya 7 Mei 2014.

Mantan Ketua Demokrat Sulsel itu ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus tindak pidana korupsi kerja sama rehabilitasi kelola dan transfer untuk instalasi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar tahun anggaran 2006-2012 dengan jumlah kerugian negara senilai Rp38,1 miliar.

Pasal yang disangkakan yakni Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 mengenai perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya dalam jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. (*)