Semendawai: LPSK Tidak Bisa Berjalan Sendiri

id LPSK

Jakarta, (Antara) - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai mengatakan, lembaga yang dipimpinnya tidak bisa berjalan sendiri terutama dalam rangka mengoptimalkan pemberian layanan perlindungan bagi saksi dan korban di Tanah Air.

"LPSK tidak bisa berjalan sendiri, dibutuhkan kolaborasi dengan aparat penegak hukum lain," kata Abdul Haris Semendawai dalam siaran pers LPSK yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Menurut Semendawai, peran LPSK dari tahun ke tahun semakin penting dan dituntut lebih maksimal dalam melindungi dan memberikan bantuan bagi saksi dan korban, termasuk perlindungan terhadap mereka yang menjadi whistleblower, justice collaborator, dan pelapor dalam mengungkap kasus-kasus tindak pidana yang terorganisasi.

Ketua LPSK mengingatkan bahwa posisi saksi dan korban rentan mendapatkan ancaman yang membahayakan jiwa dan keselamatannya serta kelangsungan masa depannya, bahkan juga berpotensi dikriminalisasi.

Terkait hal tersebut, lanjutnya, LPSK rutin menggelar acara sosialisasi melalui seminar di berbagai daerah.

Melalui sosialisasi, kata Semendawai, diharapkan dapat lebih mendorong kesiapan dan persiapan yang matang dari unsur aparat penegak hukum di daerah mengenai mekanisme pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban.

Sebelumnya, Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan korban penyiksaan diminta tidak segan meminta baik perlindungan maupun bantuan dari lembaga yang dipimpinnya tersebut. "Korban penyiksaan jangan segan minta layanan LPSK," katanya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Sabtu (27/6).

Selain itu, ujar dia, LPSK juga mengimbau para pendamping korban untuk dapat memanfaatkan amanat UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seperti telah disempurnakan melalui UU No 31 Tahun 2014.

Ia juga mengimbau aparat penegak hukum dapat menghindari tindakan-tindakan yang masuk kategori penyiksaan dalam proses penegakan hukum.

"Sebaiknya dihindari tindakan-tindakan yang masuk kategori penyiksaan untuk mendapatkan keterangan, baik dari pelaku, saksi maupun korban," kata Semendawai dan menambahkan, ada banyak alasan mengapa LPSK melihat kasus penyiksaan yang terjadi di Tanah Air sebagai prioritas.

Menurut Semendawai, kasus penyiksaan menjadi prioritas karena kejahatan ini adalah kejahatan yang luar biasa dan diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang tidak boleh dilanggar.

Pada UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kata Semendawai, memang hanya memandatkan tindak pidana tertentu sebagai prioritas, yaitu pelanggaran HAM berat, korupsi, narkotika/psikotropika, terorisme dan tindak pidana lain yang posisi saksi atau korban sangat terancam jiwanya, sehingga tidak secara spesifik menyebut saksi dan korban penyiksaan.

Meski demikian, LPSK telah menangani sejumlah korban penyiksaan yang sesuai dengan definisi Konvensi Anti Penyiksaan, meskipun di dalam penegakan hukum disebut sebagai penganiayaan ringan/berat, atau penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atau pengeroyokan secara bersama-sama.(*)