Menanti Jurus Jitu Realisasi Belanja Modal

id modal

Ketika efek negatif dari ketidakpastian ekonomi global terus menerjang perekonomian, pemerintah sebenarnya memiliki instrumen yang dapat dikendalikan secara langsung untuk mengguyur stimulus terhadap perekonomian.

Instrumen itu adalah anggaran belanja negara, termasuk pagu belanja modal Rp290,3 triliun yang jumlahnya terbesar dalam lima tahun terakhir.

Optimalisasi belanja modal ini penting mengingat tekanan ekonomi global terus menghantam perekonomian domestik, terutama pada konsumsi, daya beli masyarakat tergerus akibat pendapatan yang lesu.

Imbasnya, ketika daya beli masyarakat tergerus, dunia usaha akan "gigit jari". Lalu, bagaiamana membiayai postur belanja negara yang "raksasa" jika lambatnya pertumbuhan dunia usaha akan menggangu penerimaan pajak.

Alih-alih program pembangunan demi kesejahteraan rakyat tercapai, justru kerentanan fiskal akan menghadang.

Setelah satu semester berjalan, pemerintah perlu berkaca pada lambannya realisasi belanja pemerintah pusat yang kurang dari 40 persen dan belanja modal yang kurang dari 15 persen.

Hambatan-hambatan realisasi anggaran jika dibiarkan akan memasung hak masyakarat untuk menikmati efek pengganda ekonomi dari uang negara, yang juga berasal dari pembayaran pajak masyarakat.

Pada bulan Mei lalu, dikagetkan dengan temuan "lumbung", tempat mengendapnya dana pembangunan di daerah, yang jumlahnya mencapai Rp255 triliun. Dana tersebut berasal dari pajak yang dibayarkan rakyat. Namun, hanya mengendap di rekening bank, tanpa realisasi yang akhirnya mengakibatkan disfungsi.

Menyinggung soal lambannya pencairan anggaran, Kepala Ekonom PT Bank Danamon Anton Hendradata mengatakan bahwa di sisa waktu 2015, pemerintah tidak bisa hanya melakukan langkah biasa, tetapi harus langkah "tegas dan luar biasa" untuk mempercepat realisasi anggaran.

Tidak hanya tertundanya efek ekonomi bagi masyarakat, tetapi kepercayaaan pelaku pasar bisa juga bisa terganggu jika realisasi anggaran terus berjalan seperti siput.

"Dampaknya, akan ke pertumbuhan yang jauh dari target pemerintah jika pemerintah tidak serius realisasikan anggaran," kata Anton saat bersilaturahmi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Peraturan Percepatan Proyek

Lambannya penyerapan anggaran tidak hanya masalah kelembagaan, seperti perubahan nomenklatur dan momentum pengesahan APBN-P pada bulan Februari 2015. Namun, juga dikarenakan masalah birokrasi yang "ruwet" dan efisiensi kinerja pejabat.

Masalah birokrasi yang disfungsi dan penggerak roda pembangunan yang tidak sinergis atau parsial telah menjadi kendala realisasi anggaran produktif.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago mencontohkan salah satu masalah itu adalah pejabat pelaksana program dan proyek kerap ragu dan cemas untuk melakukan terobosan dalam pencairan anggaran.

Para pejabat khawatir setiap terobosan dalam kegiatan, seperti lelang atau pengadaan barang dan jasa, bisa berakibat pada ekses hukum karena persinggungan birokrasi.

Akhirnya, proyek itu "mangkrak" dan nirhasil, padahal uang negara telah tersedot untuk melakukan studi kelayakan atau desain rekayasa teknis proyek tersebut.

Dengan latar belakang masalah inilah pemerintah sedang merampungkan rancangan Peraturan Presiden dan Instruksi Presiden tentang Percepatan Proyek-Proyek Strategis Nasional.

Subtansi yang diatur dalam perpres ini, kata Andrinof, adalah agar jalannya penegakan hukum tidak menganggu pembangunan. Begitu pula, pelaksanaan pembangunan agar tidak mencederai proses hukum.

Menurut Andrinof, salah satu klausul yang sedang dimatangkan adalah posisi pengawas internal pemerintah dan penegak hukum.

Jika terdapat laporan pengaduan masyarakat terhadap suatu proses kegiatan proyek ataupun dugaan pelanggaran lainnya, kata Andrinof, pengawas internal pemerintah, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan pihak inspektorat K/L, akan lebih dahulu menyelidik dugaan pelanggaran itu.

Hal tersebut, kata dia, untuk memperjelas, teritori masalah administratif dan masalah hukum.

"Namun, peran penegak hukum, dalam hal ini Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK tidak akan dikurangi," kata dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan bahwa dalam rapat finalisasi itu dibahas jika dugaan pelanggaran masih bersifat adminsitratif, penyelesaian masalahnya akan masuk ranah administratif dan dilakukan oleh pengawal internal pemerintah.

Namun, menurut Sofyan, peran penegak hukum tidak akan berkurang. Jika peran penegak hukum berkurang, dikhawatirkan akan menimbulkan "moral hazard" pada diri pejabat. Hal yang akan dipastikan adalah peran pengawas internal pemerintah dan penegak hukum dalam proses dan alur pelaksanaan proyek.

"Misalnya, masalah dari laporan pelanggaran, minta BPKP atau irjen untuk audit investigasi. Kalau ada kesalahan kerugian negara, itu baru pidana langsung. Akan tetapi, kalau kesalahan administrasi, dilakukan tindakan administrasi dulu" ujarnya.

Sofyan mengatakan bahwa pemerintah juga sedang menyinkronkan substansi dalam perpres dan inpres ini agar tidak terjadi persinggungan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam undang-undang.

Menko Perekonomian menargetkan perpres dan inpres itu dapat terbit sebelum peringatan Hari Ulang Tahun Ke-70 Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus mendatang.

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) Agus Prabowo mengatakan bahwa jika pepres dan inpres ini terbit, dampaknya akan signifikan terhadap percepatan pengadaan barang dan jasa. Percepatan itu bisa teradi pada kuartal III dan IV.

Agus mengatakan bahwa kecemasan yang sering melanda pejabat itu adalah penindakan hukum dengan ketentuan pidana pada masalah-masalah administratif.

"Kalau kita gunakan bahasa pengadaan, pengadaan dan lelang itu kan masalah administrasi yang notabene peristiwa perdata. Nah, kerugian negara itu bisa terjadi ketika kontraknya sudah dibayar. Akan tetapi, sekarang itu pejabat belum tanda tangan kontrak saja sudah takut. Takut dilaporkan atau diaduin," ujarnya.

Dalam naskah perpres dan inpres itu akan dicantumkan beberapa proyek infrastruktur prioritas yang harus segera dimulai pada tahun 2015. Beberapa proyek itu, antara lain Proyek Ruas Tol Transsumatera yang secara agregat berbiaya Rp360 triliun. Proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek yang bernilai Rp24 triliun, serta Proyek Kereta Barang dan Penumpang di Kalimantan.

Pemerintah sebelumnya memang telah menetapkan 10 proyek infrastruktur "quickwins" atau prioritas yang pembangunannya harus dimulai tahun ini.

Direktur Eksekutif Center on Reform of Economic (CORE) Hendri Saparini mengatakan bahwa terbitnya instrumen percepatan proyek strategis itu bisa jadi penggerak stimulus perekonomian, terutama bagi sektor riil.

Percepatan realisasi proyek, terutama proyek infrastruktur memang harus dikebut untuk memberikan efek pengganda ekonomi bagi masyarakat. Proyek infrastruktur juga akan menjadi pendorong pada transisi ekonomi dari negara yang mengandalkan bahan mentah menjadi negara industri manufaktur.

Satu hal yang juga penting, jika perpres dan inpres ini terbit, pemerintah bisa membuktikan kehadirannya di tengah kerisauan dunia usaha akibat minimnya stimulus yang memicu perlambatan ekonomi.

Hal tersebut juga dapat menjadi sinyal kepada para pelaku pasar bahwa pemerintah memiliki tekad kuat untuk merealisasikan pembangunan dan mempebaiki fundamental perekonomian. Sinyal ini dapat menjadi penggerak para pelaku pasar agar tidak terus "wait and see" dalam mengekspansikan investasinya.

Presiden RI Joko Widodo, dalam dialog yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, mengatakan bahwa alokasi belanja produktif akan menambah 0,3 persen ke pertumbuhan ekonomi, dan meningkat menjadi 0,5-1 persen pada tahun 2016.(Indra A.P./ant)