Mantan Kepala SMA 9 Padang Jalani Sidang Perdana

id dugaan, korupsi, bansos

Padang, (AntaraSumbar) - Terdakwa dugaan korupsi Bantuan Sosial dan dana Komite SMA 9 Kota Padang, Nilma Lafrida, menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Padang.

Sidang yang dipimpin oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Padang dengan hakim ketua Badrun Zaini itu, menyidangkan kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) dan dana komite pada sekolah itu 2012/2013.

"Kasus ini terjadi pada tahun ajaran 2012/2013, dimana terdakwa diduga telah menyelewengkan dana Bansos yang berasal dari APBN, serta uang komite siswa," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Y Ernawati di Padang, Kamis.

Dalam dakwaan jaksa disebutkan, pada awalnya terdakwa selaku kepala sekolah mengajukan proposal kegiatan kepada Direktorat Pembinaan SMA Kementrian Pendidikan Republik Indonesia (RI) pada 2012. Proposal tersebut berisi tiga kegiatan yaitu pembangunan labor biologi, rehab 25 lokal, dan pembangunan 2 Ruang Kelas Baru (RKB).

Dengan rincian dana laboratorium Biologi sebesar Rp300 juta, rehab 25 lokal sebesar Rp400 juta dan dua RKB sebesar Rp280 juta.

Setelah proposal diterima, tim investigasi Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan RI di Jakarta menyetujui untuk memberikan bantuan sosial kepada SMA 9 Padang. Kemudian memanggil terdakwa ke Jakarta, untuk mengikuti pelatihan dan perihal penandatanganan MoU.

"Terdakwa kemudian memberitahu kepada kepala dinas pendidikan kota Padang, untuk menandatangani MoU, lalu menunggu pencairan dana Bansos," katanya.

Hanya saja, katanya, setelah proposal permohonan Bansos telah disetujui beserta dana, terdakwa ternyata menggunakan dana itu di luar dari perjanjian (MoU) yang disepakati.

"Perbuatan terdakwa telah menyalahi ketentuan panduan pelaksanaan bansos SMA 2012, pada huruf H tentang kewajiban penerima Bansos dan huruf I tentang pengelolaan bansos," katanya.

Seharusnya, kata Ernawati, penggunaan dana harus sesuai dengan rencana anggaran biaya yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Ia mengungkapkan, dana kegiatan pembangunan laboratorium Biologi yang masuk ke rekening SMA 9 sebesar Rp300 juta, ditarik oleh terdakwa dengan memerintahkan Asruddin, yang dalam perkara ini berstatus sebagai saksi.

"Pada penarikan itu uangnya berjumlah Rp445 juta, ada kelebihan sebanyak Rp145 Juta berasal dari dana komite siswa yang disetor oleh Asruddin selaku bendahara pengelola uang komite," katanya.

Hal yang sama juga terjadi pada dana kegiatan pembangunan rehab 25 lokal RKB yang masuk ke rekening SMA 9. Dimana terdakwa kembali memerintahkan Asruddin untuk melakukan penarikan.

"Untuk dana pembangunan dua lokal baru (RKB) yang sebesar Rp280 juta, penarikan dilakukan dengan cek yang ditandatangani oleh Suardi dan terdakwa. Namun uang itu langsung ditransfer ke rekening terdakwa hari itu juga," katanya.

Jaksa mengatakan, dalam pelaksanaan tiga kegiatan itu terdakwa juga tidak pernah melibatkan panitia yang telah ditunjuk. DImana ia langsung menyimpan sendiri dana bansos, serta melakukan pembayaran kepada pihak ketiga secara langsung.

"Terjadi penyimpangan yang dilakukan terdakwa dalam penggunaan dana yang tidak sesuai peruntukkan. Seperti pengadaan mobiler, alat laboratorium dan pembayaran pajak yang tidak dilaksanakannya," kata jaksa.

Terdakwa juga pernah mentransfer uang bansos ke rekening pribadi pada 25 Juni 2012 sebesar Rp25 Juta , 13 Agustus 2012 sebesar Rp40 Juta, dan rekening anak terdakwa sebesar Rp10 juta.

Jaksa mengatakan perbuatan terdakwa bersalah karena telah mempergunakan dana bansos Rencana Anggaran Biaya (RAB), menggunakan dana untuk kepentingan pribadi, tidak melaporkan perubahan RAB penggunaan dana kepada Kementerian Pendidikan, serta tidak melibatkan seluruh panitia pembangunan sekolah dan komite dalam mempergunakan dana bansos dan dana komite.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Kota Padang, perbuatan terdakwa telah mengakibatkan negara mengalami kerugian sebesar Rp154.007.091.

Perbuatan terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, ayat (2), dan (3) Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)