Dilema Percepatan Penyerapan Anggaran Dan Risiko Hukum

id Penyerapan Anggaran

Dilema Percepatan Penyerapan Anggaran Dan Risiko Hukum

Ikhwan Wahyudi

Masyarakat pada umumnya tentu akan setuju bahwa mengorupsi uang negara adalah kejahatan luar biasa sehingga pelaku harus dihukum berat untuk menimbulkan efek jera.

Dalam beberapa tahun terakhir publik menyaksikan bagaimana pengungkapan dan penangkapan tersangka koruptor silih berganti tidak pandang status mulai dari pejabat biasa, swasta, penegak hukum, kepala daerah, menteri hingga pimpinan lembaga tinggi negara.

Harus diakui pemberantasan korupsi yang dilakukan secara masif itu di satu sisi akan membuat orang berpikir ulang untuk melakukan korupsi, namun pada bagian lain telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan pejabat dalam menggunakan anggaran dan melaksanakan program pembangunan.

"Akibatnya berdasarkan data yang dihimpun pada 30 Juni 2015 penyerapan anggaran berjalan lambat, rata-rata untuk kabupaten dan kota baru 24,95 persen sementara provinsi hanya 25,95 persen," kata Penjabat Gubernur Sumatera Barat Reydonnyzar Moenek.

Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri itu menyebutkan sebanyak Rp672 triliun uang sudah ada di daerah yang disalurkan melalui dana perimbangan daerah namun daya serapnya lambat.

"Uang sudah di daerah tinggal menyerap kenapa realisasinya lamban, ternyata ada kekhawatiran dan ketakutan pemegang anggaran terhadap risiko hukum," ujar sosok yang akrab di sapa Donny itu.

Ia melihat ada kegamangan pejabat di daerah dalam mengambil keputusan mempercepat penyerapan anggaran karena khawatir tersangkut kasus hukum.

Padahal ekonomi sedang melambat, rupiah melemah, pengangguran juga bertambah, salah satu solusi agar ekonomi bergerak adalah mempercepat penyerapan anggaran dan pelaksanaan program pembangunan, ujarnya.

Donny berpendapat di tengah terkendalanya investasi, melambatnya ekonomi serta menurunnya daya beli pilihan satu-satunya adalah belanja daerah.

Menurut dia Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah menyampaikan, di satu sisi Indonesia sukses memberantas korupsi, namun kemudian harus membayar biaya yang besar yaitu terhambatnya pelaksanaan pembangunan karena ketakutan pejabat.

Hal ini terjadi karena ketidakjelasan definisi korupsi sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Donny mengemukakan dalam pasal dua dinyatakan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, akan dikenakan sanksi.

"Kok kata dapat merugikan keuangan negara di depan, ini relatif, semua pihak dapat merugikan keuangan negara," ucap dia.

Ia mengatakan korupsi memang berbahaya namun mana yang lebih berbahaya kalau program pemerintah tidak berjalan akibat penyelenggara negara takut kebijakannya dikriminalisasi.

Donny memberikan contoh ada anggaran negara 90 persen dipakai untuk program dan 10 persen dikorupsi, sementara kalau program tidak jalan 100 persen anggaran tidak terserap dan pembangunan tidak jalan.

Memang saat ini korupsi telah berkurang namun ketakutan pejabat naik karena tidak ada yang bersedia menjadi penanggung jawab anggaran, ujarnya.

Mengatasi persoalan ini Donny melihat pemerintah daerah perlu duduk bersama dengan penegak hukum untuk membahas langkah percepatan penyerapan anggaran tanpa ada pelanggaran hukum.

Penegak hukum juga diminta tidak mempublikasikan ke media jika mengungkap kasus kejahatan korupsi jika masih dalam tahap penyelidikan agar suasananya tetap kondusif, lanjutnya.

Demikian juga ketika BPK melaporkan ada temuan bedakan mana yang kerugian negara dan mana yang potensi kerugian keuangan negara.

Kalau masih potensi kerugian ada waktu 60 hari untuk memperbaiki sehingga dapat diambil tindakan pencegahan dan tidak perlu dipidanakan, katanya.

"Kecuali secara faktual dan nyata ada kongkalikong yang menyebabkan kerugian negara, maka ini perlu ditindak," ujar dia.

Ia menyampaikan penegakan hukum tidak boleh mengganggu jalannya pembangunan termasuk menimbulkan ketakutan karena tidak ada kepastian.

"Jangan sampai yang tidak ada kaitan dihubung-hubungkan, data masih lemah dan dicari-cari kesalahannya," kata dia.

Komitmen Bersama

Menanggapi hal itu Kapolda Sumbar Brigjen Polisi Bambang Sri Herwanto mengajak semua pemangku kepentingan membangun komitmen bersama mempercepat penyerapan anggaran pemerintah.

"Saya mengajak semua pihak membangun komitmen, menguatkan tekad dan semangat untuk mempercepat penyerapan anggaran," kata dia.

Menurut Bambang, selama ini terjadi kekhawatiran pejabat pemerintah dalam menggunakan anggaran, karena takut terkena sanksi hukum sehingga penyerapan menjadi lambat.

Padahal ini harus dilihat secara bijak, penegakan hukum itu ada di hilir sementara persoalan penggunaan anggaran ada di hulu dan prosesnya belum sampai ke hilir, ujar dia.

"Proses hukum baru dapat dilaksanakan jika telah terjadi perbuatan melanggar hukum. Ini proses perencanaan saja belum berjalan kenapa harus takut?" kata dia.

Bambang berpesan kepada jajaran pejabat di Sumbar agar menghilangkan ketakutan atas risiko hukum dalam menggunakan anggaran dengan syarat tidak melakukan pelanggaran.

Gubernur harus memerintahkan bupati dan wali kota untuk segera memaksimalkan penyerapan anggaran serta mendorong satuan kerja perangkat daerah menyelesaikan masalah seputar pelaksanaan anggaran.

"Langsung perintah saja tidak perlu imbauan karena gubernur punya tanggung jawab di daerah," ujar dia.

Ia juga meminta bupati dan wali kota tidak boleh mengedepankan ego karena merasa sama-sama dipilih oleh rakyat serta memprioritaskan kepentingan negara serta menghilangkan ego sektoral.

Kemudian yang lebih penting pastikan pelaksanaan program sesuai aturan sehingga tidak ada pelanggaran hukum, lanjutnya.

"Kuncinya sederhana tidak fiktif, tidak ada mark up dan tidak ada suap, sepanjang benar tidak perlu takut" ujar dia.

Harus Berani

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumbar Asnawi Bahar menilai penyelenggara pemerintah tidak perlu takut melaksanakan program pembangunan.

Jika ada pejabat yang masih takut, sebaiknya diganti saja dengan mereka yang lebih berani dan siap bekerja sesuai pakta integritas, kata dia.

"Masa mau jabatan tidak mau mengambil risiko, ini tidak bisa karena kalau dibiarkan bisa saja anggaran dikembalikan ke pusat karena tidak terserap, ujar dia.

Kepada pengusaha ia minta tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan dan mendukung percepatan penyerapan anggaran.

Ia mengakui kalangan dunia usaha khususnya kontraktor tidak mendapatkan pekerjaan dan tenaga kerja banyak yang berhenti karena lambannya penyerapan anggaran.

Ketika tidak ada program pembangunan yang rugi tidak hanya pengusaha dan kontraktor, masyarakat juga karena tidak ada uang yang beredar, ujar dia.

Berkaca dari realitas yang ada sudah saatnya semua pemangku kepentingan duduk bersama mencari formulasi percepatan anggaran segera terealisasi tanpa ada bayang-bayang ketakutan atas risiko hukum.

Jika semuanya dijalankan dengan benar, sesuai aturan yang berlaku, tanpa ada tendensi menyimpang, seperti kebiasaan pejabat menerima komisi proyek atau "kongkalikong" dengan pelaksana, tentu tidak ada pasal/permasalahan yang bisa menjebloskan mereka ke ranah hukum. (*)