Warga Korban Penggusuran Minta TNI Bertanggung Jawab

id tnigusur

Samarinda, 7/2 (Antara) - Warga Jalan Milono, Kelurahan Bugis, Kecamatan Samarinda Kota, Samarinda, yang menjadi korban penggusuran meminta Pemerintah Kota Samarinda dan TNI bertanggung jawab atas nasib keluarga korban hingga ada keputusan tetap pengadilan terkait sengketa lahan tersebut.

Kabul (50 tahun), salah satu korban penggusuran, mengaku kebingungan setelah penggusuran beberapa waktu lalu, karena pihak TNI hanya menyewakan rumah tinggal selama satu bulan dan setelah itu warga harus mencari tempat tinggal sendiri sembari menunggu proses pengadilan.

"Ini kurang sepuluh hari saja masa sewa yang ditanggung TNI, setelah itu kami bingung mau tinggal di mana. Makanya, kami membentuk Forum Warga Bersatu 09, di lokasi dekat penggusuran," jelasnya.

Kuasa hukum warga Milono dari Lembaga Bantuan Hukum Untag Samarinda, Suterisno SH, menjelaskan dalam persidangan yang berlangsung Kamis (4/2), pihaknya mengajukan Guru Besar Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Nur Hasan Ismail, sebagai saksi ahli.

Prof Hasan Ismail dalam keterangannya mengatakan sesuai PP 24 Tahun 1997 dan UU Agraria bahwa ketika ada penguasaan lahan selama 20 tahun berturut-turut dan pemilik lahan tidak melakukan komplain, maka penguna lahan mempunyai hak utama untuk memiliki lahan tersebut.

Warga Milono Gang 09, Kelurahan Bugis, telah menempati lahan tersebut sejak 1968 dan mendiami tanah yang dulunya hutan belantara itu selama turun-temurun, bahkan sebagian dari mereka berasal dari keluarga tentara (TNI).

Setelah lebih dari 40 tahun, baru kemudian pada 2014 pihak TNI menyatakan kepemilikan lahan tersebut dengan status pinjam pakai lahan pemerintah. Atas terbitnya surat tersebut, TNI memberikan surat pemberitahuan kepada warga untuk segera pindah.

"Penerbitan surat tersebut sudah lebih dari 20 tahun setelah warga menguasai lahan dan selama proses surat tersebut juga tidak diumumkan kepada masyarakat sekitar. Padahal, poin itu ada dalam Undang-Undang, makanya kami menyimpulkan bahwa surat tersebut cacat hukum," jelas Prof Hasan Ismail, dalam kesaksiannya.

Pada 17 Januari 2016, puluhan personel TNI dengan dibantu Polwasbang dan Dinas Cipta Karya melakukan penggusuran tujuh dari sembilan rumah di Jalan Milono yang berstatus sengketa.

Dua rumah yang tidak ikut tergusur, yakni atas kepemilikan Erwin Ricard Yohansen dan Marince Julia Kastanya, karena perkaranya masih disidangkan di Pengadilan Negeri Samarinda.

Pascapenggusuran tersebut, kuasa hukum warga melakukan pertemuan dengan TNI yang dimediasi Komisi I DPRD Kaltim, dan saat itu ada kesanggupan dari pihak TNI untuk memberikan sewa tempat tinggal kepada korban penggusuran selama satu bulan.

"Persoalan yang dihadapi warga, setelah kontrak sebulan itu habis mereka mau tinggal di mana? Makanya, warga minta kesediaan pemerintah dan TNI untuk memberikan bantuan tempat tinggal, minimal hingga persoalan hukum ini tuntas," jelas Suterisno.

Selain mengajukan proses peradilan, Suterisno juga telah melayangkan laporan ke Komnas HAM, karena dugaaan pelanggaran hak asasi manusia saat penggusuran.

"Kami juga punya bukti foto kejadian penggusuran, berikut dengan gambar video, semuanya sudah kita serahkan ke Komnas HAM," tambahnya.

Kuasa hukum TNI, Abdul Aziz SH, mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan klarifikasi soal permintaan perpanjangan sewa, karena tugasnya hanya mengurusi persoalan gugatan hukum.

"Silakan itu ditanyakan kepada komandan Korem, karena urusan di luar hukum saya tidak tahu," jelasnya.

Kepala Penerangan Korem 091/Aji Surya Natakesuma Mayor Inf Ahmad Sobirin, ketika dihubungi soal perpanjangan sewa, mengatakan bahwa pihaknya juga tidak tahu, karena persoalan tersebut merupakan wewenang divisi logistik. *