Walhi: Banjir Sumbar Dipicu Kerusakan Lingkungan

id Banjir, Sumbar

Padang, (AntaraSumbar) - Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) menengarai musibah banjir yang terjadi pada 10 daerah di provinsi itu bukan hanya karena faktor iklim namun dipicu oleh kerusakan lingkungan.

"Faktor utama penyebab kerusakan lingkungan di Sumbar adalah eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan," kata Direktur Walhi Sumbar Uslaini di Padang, Selasa.

Menurut dia, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dikeluarkan Maret 2015, di Sumbar terdapat 262 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang 188 IUP berstatus operasi produksi dengan komoditas emas, timah hitam, galena, bijih besi, tembaga, mangan, batu kapur, kalsit dan batu bara.

Aktivitas pertambangan terbuka ini pasti memberi dampak besar bagi lingkungan karena berkurangnya daerah tangkapan air, meningkatnya laju aliran permukaan dan meningkatnya erosi lahan sehingga merusak daerah aliran sungai, ujar dia.

Ia menyebutkan di Kabupaten Solok Selatan yang direndam banjir dan longsor terdapat 22 IUP seluas 15.786 hektare dengan komoditas emas, bijih besi, galena, mangan dan tembaga dalam proses operasi produksi.

Selain itu aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (Peti) di sepanjang daerah aliran sungai Batanghari juga marak, sekarang tidak lagi memakai cara tradisional namun sudah menggunakan alat berat, lanjut dia.

"Hal ini tentu mempengaruhi daya dukung dan daya tampung daerah aliran sungai saat hujan turun dengan intensitas tinggi," katanya.

Walhi menilai kerusakan lingkungan juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Pasaman Barat dengan keberadaan perkebunan monokultur kelapa sawit, yang mempengaruhi kondisi lingkungan dan meningkatnya aliran permukaan sehingga menimbulkan bencana banjir.

Sedangkan di Kabupaten Limapuluh Kota khususnya Kecamatan Pangkalan, Uslaini mengatakan banjir dipengaruhi oleh bendungan Koto Panjang.

Catatan Walhi, banjir besar pertama kali terjadi di Pangkalan Koto Baru pada 6 Januari dan 2 Februari 1998, dengan ketinggian banjir lebih dari tiga meter atau sampai ke loteng rumah warga dan memutus jalan Payakumbuh, Pekanbaru, Riau.

Ia mengatakan ke depan, ancaman bencana serupa akan semakin tinggi terlihat dari banyaknya izin eksplorasi yang ada dan berpotensi merusak lingkungan skala luas, apalagi di Kabupaten Solok Selatan saja saat ini terdapat 19 IUP dengan status eksplorasi dengan luas izin usaha 58.356 hektare.

"Di Sumbar terdapat 74 IUP eksplorasi yang jika gubernur memberikan izin operasi produksi tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, maka bencana akan menjadi menu pokok masyarakat," kata dia.

Ia mengusulkan jika perlu pemerintah melakukan moratorium pertambangan dan mengevaluasi izin usaha yang ada apakah telah beroperasi sesuai dengan aturan.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumbar mendata 10 kabupaten dan kota direndam banjir dan longsor, mengakibatkan enam orang tewas dan satu hilang.

Sementara tiga ribu lebih warga harus mengungsi akibat bencana tersebut, kata pelaksana tugas (Plt) BPBD Sumbar Zulfiatno.

Ia mengatakan saat ini masyarakat terdampak kesulitan air bersih.

"Pascabanjir, air bersih memang selalu menjadi persoalan. Kami berkoordinasi dengan BPBD daerah yang tidak terdampak banjir untuk membantu," katanya. (*)