Cambuk Itu Bernama Yuyun

id Pemerkosaan, Remaja, Yuyun

Cambuk Itu Bernama Yuyun

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Yembise (kedua kanan) didampingi Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti (kanan) berbincang dengan keluarga korban YY saat mengunjungi kediaman korban di Desa Kasie Kasubun, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejanglebong, Bengkulu, (5/5). Dalam kunjungannya Yohana Yembise menyatakan turut bebela sungkawa atas nama pemerintahan, dan menuntut agar tersangka yang berstatus anak-anak sesuai dengan Undang Undang (UU) Perlindungan Anak agar dihukum maksimal 10 tahun dan direhabilitasi serta hukuman seumur hidup bagi tersangka dewasa agar menimbulkan efek jera. (ANTARA FOTO/David Muharmansyah)

Menteri Yohana Yembise tak kuasa menahan air mata saat menyampaikan ucapan duka kepada Yana dan Yakin, orangtua Yuyun (14), korban pemerkosaan dan pembunuhan oleh 14 orang laki-laki.

Dengan suara bergetar, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu menyampaikan duka Indonesia untuk kepergian Yuyun dan mengutuk peristiwa tragis yang dialami siswi kelas I SMP itu.

"Indonesia berduka, negara kaget atas peristiwa ini, mungkin ini yang pertama terjadi di Indonesia, seorang anak meninggal diperkosa 14 orang laki-laki," kata Menteri saat mengunjungi rumah Yuyun di Desa Kasie Kasubun Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejanglebong, Bengkulu, Kamis (5/5).

Di halaman rumah berdinding papan berlantai tanah itu, kedua orangtua Yuyun dan saudara kembarnya menerima kedatangan Menteri.

Ibu korban, Yana (30) terlihat berusaha tegar dan menyampaikan terimakasih atas kedatangan Menteri dan apresiasi seluruh masyarakat atas kasus yang menimpa putrinya.

"Biarkan seluruh dunia tahu apa yang dialami anak saya dan kami minta pelaku dihukum berat," kata Yana.

Menteri Yohana mengatakan kedatangannya ke Bengkulu untuk menyampaikan duka sekaligus melihat dan mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa Yuyun.

Di hadapan masyarakat yang memadati rumah korban, Yohana mengatakan bahwa orangtua para pelaku pemerkosa itu dapat dituntut hukuman penjara karena membiarkan anaknya melakukan kejahatan berat.

Diketahui, tujuh dari 12 orang pelaku yang sudah ditangkap polisi masih berstatus anak di bawah umur.

Namun, terkait tuntutan hukuman berat bagi pelaku yang masih berstatus anak-anak, Menteri mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yakni tuntutan 10 tahun penjara.

Pemerintah sudah meratifikasi konvensi internasional tentang Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu anak-anak tidak boleh dijatuhi hukuman mati atau tuntutan penjara seumur hidup.

Sedangkan bagi tersangka yang berusia di atas 18 tahun, Menteri menegaskan akan dihukum seberat-beratnya yakni tuntutan penjara seumur hidup.

"Sepulang dari sini saya akan merancang gerakan nasional laki-laki lindungi perempuan dan anak, karena pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah laki-laki," kata Menteri.

Perangi Kemiskinan

Pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Yuyun menarik simpati masyarakat luas. Gerakan sosial dengan tagar #nyalauntukyuyun digaungkan dari seluruh penjuru negeri.

Seruan untuk menghukum seberat-beratnya para pelaku bahkan disampaikan Presiden Joko Widodo.

Peristiwa tragis yang terjadi pada 2 April 2016 itu sudah ditangani aparat kepolisian. Polisi sudah menangkap 12 dari 14 orang tersangka pelaku.

Dari 12 orang tersangka tersebut, tujuh orang diketahui berusia di bawah 17 tahun dan berkasnya sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Curup.

Dalam sidang tuntutan yang digelar pada 3 Mei 2016 di Pengadilan Negeri Curup, tujuh orang tersangka yang masih berstatus anak di bawah umur itu dituntut 10 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.

Gubernur Bengkulu, Ridwan Mukti mengatakan kasus pemerkosaan dan pembunuhan yang menimpa Yuyun merupakan cambuk bagi pemerintah daerah untuk memerangi kemiskinan dan penyakit sosial di daerah itu.

"Ini teguran sekaligus cambuk bagi kita semua untuk memerangi kemiskinan dan keterbelakangan daerah kita," kata Gubernur Ridwan yang mendampingi Menteri Yohana ke kediaman keluarga Yuyun.

Kemiskinan menurut Gubernur dapat melahirkan beragam penyakit sosial seperti mabuk-mabukan, perjudian, narkoba dan lainnya.

Untuk mengatasi hal itu, pihaknya bersama aparat keamanan akan meningkatkan operasi gabungan pemberantasan narkoba dan minuman keras serta menerbitkan larangan menggelar pesta hingga larut malam.

"Kita sedih atas kepergian Yuyun yang tragis dan kita marah kepada para pelakunya, tapi kasus ini jadi pelajaran keras," kata Gubernur.

Kasus yang menimpa Yuyun menurut dia ibarat fenomena gunung es yang harus dipecahkan dengan serius dan komprehensif.

Karena itu, pemerintah memprioritaskan program penanggulangan kemiskinan di 670 desa tertinggal di daerah ini.

Namun, menurut Menteri Yohana pembangunan infrastruktur yang digaungkan pemerintah akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan pembangunan kualitas sumber daya manusia.

"Saya melihat infrastruktur yang ada di desa ini sangat tidak ramah anak dan perempuan. Jalan sangat terjal dan berlubang sehingga membahayakan anak-anak," katanya.

Hapus Kekerasan

Aktivis perempuan dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Bengkulu menilai kasus Yuyun menjadi pintu masuk untuk memecahkan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di daerah ini.

"Kami bersama jaringan organisasi dan lembaga yang fokus di isu perempuan di Bengkulu mengawal kasus ini hingga tuntas," kata Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kota Bengkulu, Lumongga.

Sejak kasus pemerkosaan yang terjadi pada 2 April 2016 tersebut terungkap, pihaknya sudah mengunjungi rumah keluarga korban dan memberikan pendampingan.

Bahkan tim dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga sudah mendatangi rumah keluarga korban di Kecamatan Padang Ulak Tanding, berjarak 117 kilometer dari Kota Bengkulu tersebut.

Pendampingan bagi keluarga tersebut untuk memastikan mereka bebas dari intimidasi pihak lain dan mereka juga aman dari semua potensi gangguan.

Sementara Direktur Yayasan Pusat Pendidikan dan Pemberdayaan Untuk Perempuan dan Anak (Pupa) Bengkulu, Susi Handayani mendesak pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menanggulangi kasus-kasus kekerasan seksual yang terus meningkat.

"Peristiwa tragis yang dialami Yuyun menjadi momentum untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual," kata Susi.

Perempuan dan anak-anak menurut Susi selalu mengalami kerentanan, tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman sehingga mengalami korban perkosaan dan pembunuhan.

Proses hukum bagi 12 pelaku yang sudah tertangkap menurut dia terus berlanjut dan kematian korban bukan berarti memutuskan pemenuhan hak atas kebenaran dan keadilan.

"Memastikan putusan yang setimpal bagi pelaku kejahatan luar biasa adalah salah satu bentuk pemenuhan hak keadilan bagi korban," ucapnya.

Para pelaku kata dia harus dijerat secara hukum, jangan sampai terjadi impunitas sehingga kasus serupa berulang yang menghancurkan rasa kemanusiaan dan HAM.

Menurut Susi, bagi pelaku yang masih di bawah usia 17 tahun, namun sudah berusia lebih 12 tahun tetap dapat diproses, namun hukuman yang dikenakan hanya sepertiga dari tuntutan.

Selain itu, kasus ini menjadi pelajaran berharga bahwa anak-anak terutama perempuan harus dilatih untuk merespon situasi yang tidak aman bagi dirinya.

Selagi anak-anak tidak mememiliki keterampilan untuk menghindar dan lari mencari pertolongan maka anak perempuan semakin rentan menjadi korban.

Ia mengatakan, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terpublikasi di media lokal kurun Januari hingga Maret 2016 mencapai 40 kasus. Artinya, hampir setiap minggu ada satu perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

"Ini menandakan predator kekerasan seksual sangat dekat dengan kita dan mengancam anak, saudara dan teman-teman kita," ucapnya.

Komnas Perempuan tambah Susi malah menggambarkan betapa daruratnya kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia karena setiap hari ada 35 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual, artinya setiap dua jam terjadi tiga kekerasan seksual.

Atas kondisi ini tambah Susi, sudah saatnya negara menyematkan status kejahatan luar biasa untuk kasus kekerasan seksual sehingga tidak ada lagi impunitas pada kasus tindak pidana kekerasan seksual yang secara umum terjadi pada kelompok rentan diskriminasi, yaitu perempuan, anak-anak dan disabilitas.

Ruang lingkup RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus mengatur lebih luas terkait pencegahan, perlindungan bagi korban, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual yang dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, lembaga masyarakat, dan keluarga. RUU ini juga perlu mengatur peran serta masyarakat dan kelembagaan yang akan mengawal implementasi dari UU ini jika disahkan.

Di sisi lain, menurut dia, kemiskinan yang membelenggu masyarakat harus dicarikan solusinya. Angka anak remaja putus sekolah, lingkungan masyarakat yang tidak mendukung dan lunturnya nilai-nilai baik maka akan semakin banyak predator bagi anak perempuan. (*)