Akademisi : Penanganan Perkara di MA Tidak Efisien

id Mahkamah Agung, Penanganan, Perkara

Padang, (Antara Sumbar) - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Refky Saputra menilai alur penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA)tidak efisien karena melewati tahapan yang terlalu banyak dan butuh waktu lama.

"Ini membuka celah terjadinya praktik korupsi dalam penanganan perkara kasasi oleh personel MA," kata dia di Padang, Rabu.

Ia menyampaikan hal itu pada diskusi lapau dengan tema "Turbulensi Mahkamah Agung : Teori dan Praktik Pengiriman Salinan dan Petikan Putusan" dihadiri para pegiat hukum di Padang.

Menurutnya kasus tangkap tangan pegawai MA Andi Tristianto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi mengindikasikan manajemen perkara di lembaga tersebut masih menyimpan permasalahan yangjadi celah potensial munculnya praktik korupsi.

Ia menambahkan penanganan perkara di MA harus melewati 27 tahapan dan melibatkan tiga unit kerja mulai dari biro umum hingga dikirim kembali ke pengadilan pengaju.

Tidak jarang proses pada satu tahapan diulang lagi misalnya penelahaan berkas oleh Panitera Muda padahal pengadministrasian perkara cukup dilakukan Kepaniteraan MA, lanjut dia.

Kemudian tingginya produktivitas memutus perkara di MA belum diimbangi dengan minutasi proses yaitu pengetikan, koreksi hingga pembuatan salinan putusan ke pengadilan pengaju.

Ia menyebutkan pada 2014 beban minutasi MA mencapai 12.328 perkara dan 43 persen diantaranya baru rampung dalam waktu enam hingga 12 bulan, bahkan 27 persen makan waktu satu tahun lebih.

Menurut dia jika proses minutasi butuh waktu lama akan berdampak pada tertundanya pelaksanaan putusan dan memberi celah praktik korupsi.

"Modusnya salinan putusan akan diatur dengan biaya tertentu sebagaimana kasus Andri Tristianto," ujarnya.

Pada sisi lain ia melihat faktor yang menyebabkan minutasi lama adalah format putusan yang rumit dan diketik secara manual serta koreksi berjenjang sehingga tidak efisien.

Selain itu, lanjut dia proses penanganan perkara di MA belum sepenuhnya berbasis teknologi informasi dan masih dicatat manual sehingga panitera MA sulit memantau penanganan perkara secara langsung.

Oleh sebab itu ia merekomendasikan agar alur penanganan perkara di MA lebih disederhanakan dengan memusatkan pada Kepaniteraan MA, menyederhanakan format putusan dan menggunakan teknologi informasi.

Untuk jangka panjang ia mengusulkan mengembalikan fungsi kasasi MA ke pelaksanaan kasasi semestinya yaitu penyeragaman penerapan hukum sehingga aparatur tidak punya kesempatan memperjualbelikan perkara.

Sementara Koordinator Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar, Miko Kamal menyampaikan ada perkara yang diputus pada 26 Juli 2006 namun salinan putusan baru diterima pada 7 Desember 2007 atau butuh waktu setahun lebih.

"Praktik penanganan putusan yang memakan waktu satu tahun ini terlalu lama dan tak logis," katanya.

Menurut dia untuk memperbaiki hal ini butuh pimpinan MA yang kuat guna mengefisienkan proses penanganan perkara. (*)