Tantangan Industri Penerbangan Tanah Air

id penerbangan

Tantangan   Industri  Penerbangan Tanah Air

Bandara Internasional Soekarno Hatta. (FOTO ANTARA/Widodo S. Jusuf.)

Padang, (Antara) - Dua bersaudara Orville Wright dan Wilbur Wright adalah orang yang paling layak diberi apresiasi tertinggi atas karyanya menciptakan pesawat terbang bermesin. Rasa penasaran mereka mengapa burung bisa terbang dan kemudian berpikir membuat prototipe pesawat, telah melahirkan sejarah baru bagi umat manusia.

Penemuan yang tercipta pada 1903 itu telah mengubah dunia dan menjawab pertanyaan terbesar saat itu, apakah manusia bisa terbang?. Sejak itu dunia penerbangan berkembang pesat, tidak hanya melintas pulau, manusia mengalami lompatan kemampuan luar biasa dengan berhasil mendarat di bulan, sesuatu yang tak pernah terpikir sebelumnya.

Tidak hanya untuk hal yang positif, temuan tersebut juga telah menorehkan tragedi sejarah kelam yang akan selalu dikenang bagaimana bom atom pertama dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima, berkat andil pesawat udara saat Perang Dunia II oleh Amerika Serikat.

Demikian juga halnya dengan Indonesia, berkat karya Wright bersaudara Nusantara yang terdiri atas ribuan pulau menjadi lebih mudah dijangkau, dan terhubung satu sama lainnya. Keberadaan transportasi udara telah menjadi jembatan yang memberikan banyak manfaat dan kemaslahatan baik dari sisi ekonomi, pembangunan dan lainnya.

Pada awalnya di Tanah Air transportasi udara hanya dapat dinikmati segelintir orang karena mahal dan jumlahnya masih terbatas. Namun sejak 2000 sejumlah maskapai penerbangan baru hadir di Indonesia dengan pilihan rute yang beragam. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Perhubungan tercatat ada 34 maskapai penerbangan komersial yang aktif.

Memasuki pemberlakuan ASEAN Free Trade Area (AFTA) ditengah semakin ketatnya persaingan antar maskapai, industri penerbangan dalam negeri harus terus berbenah. Usai dicabutnya larangan terbang maskapai Indonesia ke Wilayah Uni Eropa oleh Komisi Eropa merupakan peluang untuk kembali membuktikan kepada dunia bahwa industri penerbangan siap memberikan pelayanan terbaik dan mengutamakan keselamatan.

Harus diakui, Indonesia perlu banyak belajar kepada negara tetangga seperti Singapura atas perolehan predikat bintang lima maskapai Singapore Airlines pelayanan, keamanan dan kenyamanan.

Negara kecil itu pun menjadi pengguna pertama Airbus A380, pesawat terbesar yang pernah dibuat dengan daya angkut mencapai 555 penumpang.

Memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN terdapat sejumlah tantangan yang harus ditaklukan oleh maskapai dalam negeri selaku operator jasa layanan, serta pemerintah sebagai penyedia infrastruktur pendukung.

Tuntutan SDM

Sumber daya manusia yang handal, kedisiplinan, kepemimpinan yang kuat menjadi kunci keberhasilan pengelolaan layanan penerbangan dalam negeri yang berkualitas. Untuk itu diperlukan lembaga-lembaga pendidikan penyuplai tenaga-tenaga muda yang siap berkompetisi dalam bidang penerbangan. Apalagi menyiapkan tenaga profesional di bidang penerbangan tidak dapat dilakukan dengan instan karena harus memenuhi kualifikasi dan persyaratan tertentu.

Dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN, anak bangsa harus siap bersaing dengan SDM dari negara-negara lainnya di ASEAN dalam dunia penerbangan. Sudah menjadi rahasia umum di sejumlah maskapai gaji pilot asing lebih tinggi ketimbang penerbang dalam negeri. Sebaliknya, karena kesejahteraan yang diberikan maskapai luar negeri lebih baik, membuat penerbang Indonesia juga ada yang memilih berkarir di negara lain.

Hal ini merupakan dilema yang harus dihadapi maskapai berupa tuntutan mengedepankan nasionalisme atau profesionalisme. Jika ditelusuri cukup banyak pilot Indonesia yang berkiprah di luar karena belum memadainya gaji yang diterima di dalam negeri dibandingkan risiko pekerjaan .

Solusi ideal dapat diambil adalah menciptakan regulasi yang adil terkait dengan SDM asing agar tercipta iklim kompetisi yang kondusif dengan tetap mengedepankan profesionalisme. Apalagi permintaan pilot semakin tinggi dan jika tidak ada sistem baku standar penggajian akan menciptakan ketimpangan.

Tidak hanya untuk pilot, mekanik dan staf darat juga memegang peran penting karena mereka adalah orang yang bertanggung jawab dalam perawatan pesawat yang menjadi penentu keselamatan. Pada sejumlah kecelakaan pesawat udara jamak dijumpai salah satu faktor penyebabnya adalah kelalaian manusia.

Kedisiplinan pengecekan, pergantian suku cadang hingga lemahnya sanksi terhadap mereka yang melanggar aturan jika terus diabaikan akan membuat maskapai dan pemerintah membayar mahal jika kembali terjadi kecelakaan.

Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn) Chappy Hakim dalam bukunya Berdaulat di Udara menilai kepemimpinan yang kuat juga menjadi salah satu kunci keberhasilan SDM penerbangan Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.

Keselamatan

Tingginya persaingan antarmaskapai di Indonesia menyebabkan terjadinya persaingan tidak sehat yang berujung abainya faktor keselamatan.

Ini dapat dilihat dari belum sebandingnya pertumbuhan maskapai dengan kesiapan tenaga penunjang hingga infrastruktur sehingga tak jarang mereka yang sebenarnya belum memiliki kapasitas yang memadai bergerak dibidang penerbangan.

Perang tarif juga membuat biaya operasional pesawat ditekan serendah-rendahnya yang dapat membahayakan aspek keselamatan.

Dari beragam kasus kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Tanah Air kadang tidak semuanya disampaikan secara detail apa yang menjadi penyebabnya.

Jika pun ada yang dipublikasikan lebih banyak diungkap faktor penyebab kecelakaan adalah cuaca, sementara kesalahan prosedur, kelaikan pesawat amat jarang dipublikasikan.

Oleh sebab itu perlu ketegasan dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk menegakkan aturan dengan tegas dan tanpa ada tawar menawar karena ini menyangkut nyawa manusia.

Infrastruktur

Selain mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, infrastruktur yang memadai mutlak diperlukan menyambut semakin kompetitifnya dunia penerbangan. Manajemen Air Trafic Service, peralatan pendukung, sistem operasi kelayakan bandara adalah hal prioritas yang mutlak dibenahi.

Jika negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand telah mempersiapkan peralatan pendukung agar bisa melayani pesawat sekelas Airbus A380, tak perlu jauh-jauh perbaikan manajemen pengelolaan bandara merupakan hal kasat mata yang harus dibenahi.

Bukankah bandar udara apalagi yang berstatus internasional adalah etalase pertama yang mencerminkan kondisi suatu bangsa. Jika bandara kondisinya semrawut, pelayanan kepada penumpang harus antre lama akan menyebabkan kita semakin sulit berkompetisi menuju standar kelas dunia.

Belum lagi soal pencurian bagasi penumpang yang kerap terdengar menghiasi pemberitaan akan menjadi momok betapa tingkat keamanan bandara belum terjamin dan akan mencoreng citra buruk di mata internasional. Lebih memprihatinkan jika yang dicuri adalah komponen pesawat yang bisa berakibat fatal.

Kemudian, dukungan peralatan yang handal tidak dapat ditawar lagi khususnya untuk menunjang operasional Air Trafic Service yang prima. Jika selama ini sudah banyak peralatan yang usang, sudah waktunya memperbarui dan berbenah.

Tidak ada kata yang paling tepat selain berbenah agar industri penerbangan dalam negeri siap bersaing. Pengawasan, penegakan aturan, pemberlakuan sanksi, serta meningkatkan profesionalitas mutlak agar harkat dan martabat bangsa di udara dapat terangkat.