KBRI "Punya" Tugas Jemput Anak Pimpinan DPR?

id KBRI, Tugas, Jemput, Anak, DPR

Para diplomat Indonesia selama bertugas di Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Konsulat Jenderal RI rupanya mempunyai tugas baru selain berdiplomasi dengan negara-negara sahabat atau organisasi internasional tempat mereka ditugaskan.

KBRI atau KJRI selain bertugas berdiplomasi juga mendapat "kewenangan ataupun kewajiban " untuk menjemput anak para pejabat negara, tidak peduli apakah mereka sedang sibuk atau tidak bekerja di kantornya masing- masing atau bahkan sedang "adu mulut" dengan rekan- rekan mereka dari negara-negara lainnya serta organisasi internasional lainnya.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon baru- baru ini mengirim "surat pemberitahuan" kepada KBRI di Washington dan KJRI New York, Amerika Serikat untuk" menjemput anak" perempuannya yang berumur 18 tahun yang katanya akan mempelajari masalah teater.

"Dengan hormat kami sampaikan bahwa putri Wakil Ketua DPR.RI Bapak Fadli Zon yaitu Shafa Sabila Fadli akan melakukan perjalanan ke New York, Amerika Serikat untuk mengikuti Stagedoor pada 12 Juni hingga 12 Juli 2016," demikian isi surat dari "staf pribadinya itu.

Surat bernomor 27/KSAP/DPR. RI yang dikirimkan pada 10 Juni 2016 itu kemudian berbunyi" Mohon bantuan dari KBRI Washington melalui KJRI New York untuk penjemputan dan pendampingan selama berada di New York Amerika Serikat".

Akhirnya para petugas di KJRI New York memang melakukan penjemputan, padahal yang datang itu bukanlah presiden, wakil presiden, ketua dan wakil ketua DPR yang memang menjadi tugas mereka.

"Saya perkirakan dana KJRI yang terpakai tidak sampai US 100 dolar. Nanti saya suruh staf saya untuk mengantar uang sebagai pengganti," kata Fadli dengan nada meyakinkan.

Kasus semacam ini bukanlah yang pertama kalinya yang dialami para diplomat karena sebelumnya ada seorang ibu dari Senayan yang mengirim surat ke KBRI di Paris, Prancis untuk minta penjemputan. Bahkan seorang menteri beberapa bulan lalu juga melakukan ulah yang "serupa tapi tak sama" ke KBRI di Australia agar "menjemput" temannya.

Jika masyarakat menyaksikan dan merenungkan kasus "tuan putri" anak Fadli Zon ini, maka bisa muncul beberapa pertanyaan. Misalnya kalau benar Fadli "hanya" ingin memberitahukan maka apakah pemberitahuan itu akan meningkatkan bobot berdiplomasi para diplomat yang kantor pusatnya berada di Jalan Pejambon, Jakarta?

Pertanyaan lainnya adalah apakah citra Indonesia akan melonjak secara drastis jika ada mobil KJRI new York sampai harus mengantar Shafa Fadli Zon ini?

Yang bisa mengganggu pikiran orang banyak adalah apakah surat dari Senayan itu cermin dari kesombongan wakil rakyat atau jajaran wakil ketua DPR? Adakah uraian tugas wakil ketua DPR untuk juga mengirim "surat pemberitahuan" atau surat perintah kepada KBRI atau KJRI untuk "menjemput dan melakukan pendampingan bagi handai taulannya???

Anggota DPR terkena OTT

Berita mengejutkan pada Rabu pagi datang dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK Agus Rahardjo bahwa seorang anggota DPR terkena operasi tangkap tangan atau OTT.

Agus baru memberitahukan kasus ini secara sekilas dan berjanji akan memberikan penjelasan secara rinci secepatnya mulai dari lengkap atau inisial anggota dewan yang terhormat ini. Padahal sebelumnya anggota DPR Dewie Yasin Limpo juga sudah terkena OTT-nya KPK karena tercium menerima uang miliaran rupiah dalam proses "pengurusan" proyek-proyek miliaran rupiah yang nilainya triliunan rupiah.

Pada masa lalu, sudah ada anggota DPR juga diseret ke pengadilan mulai dari Mohammad Nazaruddin hingga Angelina Sondakh yang lagi- lagi terkena kasus menerima uang bernilai miliaran rupiah yang membelalakkan mata jutaan orang miskin di Tanah Air.

Selain Dewi, Angelina serta Nazaruddin masih ada lagi sejumlah wakil rakyat yang terpaksa "harus berkenalan" dengan para penyidik KPK dan berhadapan dengan pengadilan tindak pidana korupsi atau tipikor hingga "tidur" bertahun- tahun di sel penjara yang bahasa halusnya adalah lembaga pemasyarakatan.

Dengan merenungkan kasus Dewi, Angelina, Nazaruddin dan kini juga Fadli Zon maka bisa timbul 1001 pertanyaan di masyarakat terhadap ulah para wakil rakyat yang terhormat dan "tercinta " ini antara lain apakah mereka "berjuang mati-matian" agar bisa duduk di DPR itu benar- benar untuk mengabdi kepada ratusan juta orang Indonesia yang memilihnya atau "sekadar" mencari gaji atau malahan menggebu-gebu meraih "suap atau gratifikasi" dari para pengusaha yang berebutan berlomba- lomba mencari proyek - proyek pemerintah yang nilainya ratusan miliar atau triliunan rupiah"?

Sementara itu, pada kasus Fadli Zon maka pertanyaannya misalnya adalah dia ingin menonjolkan kehebatan atau kekuasaannya untuk "menyuruh" lembaga pemerintah hanya untuk "menjemput" sang putrinya"." Dengan memerintahkan par diplomat di KJRI New York maka sang Wakil Ketua DPR bisa berkata kepada anaknya "Ayah bisa kan nyuruh orang lain untuk menjemput kamu ".

Pemilihan umum memang baru akan berlangsung sekitar tahun 2019 sehingga rakyat di seluruh Tanah Air masih mempunyai waktu beberapa tahun untuk memperhatikan, merenungkan tingkah laku ataupun ulah para wakil rakyat di Senayan, Jakarta yakni apakah mereka itu memang bekerja atau mengabdi kepada rakyat ataukah cuma sekadar mencari gaji, honor, uang telepon dan tunjangan -tunjangan lainnya toh tugas mereka "cuma duduk manis" di kursi empuknya di DPR.

Sementara itu, bagi ratusan anggota DPR yang masih "selamat" dari OTT KPK maka bisa disampaikan harapan ataupun desakan supaya mereka tetap memikirkan perbaikan nasib rakyat toh mereka sudah " digaji" puluhan juta rupiah tiap bulannya. Selain itu, mereka masih bisa tetap dihormati oleh para pemilihnya karena jika DPR datang ke mereka maka pasti rakyat atau berdesak-desakan berjabatan tangan hingga mencium tangan sang wakil rakyat yang terhormat itu .

Mumpung pemilu masih lama, maka wakil- wakil rakyat yang terhormat ini pantas untuk mengambil kaca dan kemudian berkaca untuk merenungkan "sudahkan saya mengabdi 100 persen "kepada konstituenku "ataukah saya ini kan cuma ingin menonjolkan kekuasaan dan kehebatan sebagai pejabat negara kepada rakyat".

Kasus yang menghampiri Senayan selama ini seharusnya menumbuhkan kesadaran bagi semua wakil rakyat di DPR untuk kembali sikap dasar mereka bahwa tugas utama mereka adalah bersama pemerintah bersama-sama membahas rancangan undang-undang sehingga menjadi undang-undang yang meningkatkan mutu kehidupan rakyat, mengawasi atau memantau jalannya pemerintahan dan bukannya mengeruk uang rakyat atau menonjolkan kehebatan sebagai pejabat negara sehingga bisa seenaknya menyuruh atau memerintah para aparatur sipil pemerintah atau pegawai negeri sipil. (*)