Pengamat: Masyarakat Harus Teliti Sebelum Menyebarkan Berita

id Pengamat

Padang, (Antara Sumbar) - Pengamat penyiaran dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Asmawi mengatakan sebelum menyebarkan sebuah berita ke media sosial, sebaiknya masyarakat meneliti kebenarannya terlebih dahulu, bisa jadi berita yang disebarkan palsu atau 'hoax'.

"Masyarakat bisa melihat kebenaranya melalui sumber berita serta membandingkannya dengan media massa yang terpercaya, kata dia di Padang, Selasa.

Masyarakat jangan mudah cepat percaya kepada berita dari media yang sumbernya tidak jelas, karena dapat menimbulkan fitnah dan kegaduhan.

Jika melihat suatu berita di media sebaiknya masyarakat membaca berita tersebut sampai selesai, dan jika berita tersebut ditemukan pada media yang terpercaya maka berita tersebut bisa disebarkan.

Meskipun sumbernya dapat dipercaya, masyarakat tetap harus menyaring informasi dari berita tersebut, karena terkadang ada berita yang dipublikasikan mengandung unsur politik, serta kepentingan yang dapat mempengaruhi kepercayaan kita kepada seseorang, ujarnya.

Biasanya berita-berita yang mengandung unsur politik ini berasal dari media yang mementingkan uang ketimbang memikirkan dampaknya ke depan.

"Berita kepentingan ini biasanya terjadi ketika waktu-waktu tertentu saja seperti momentum pemilu, pilkada dan lainnya," kata dia.

Masyarakat juga dituntut dapat memilih media massa yang dapat mencerdaskan, bukan media yang menyebarkan informasi berisi unsur kepentingan, apalagi menyesatkan.

Sebelumnya Tokoh Pers Nasional, Parni Hadi, mengupas tentang "Hoax, hoax dan hooaak, hooeek" dalam tulisannya di Antaranews.com.

Ia mengatakan timbulnya berita Hoax karena saat ini manusia memasuki zaman kebebasan informasi tanpa batas .

"Informasi dalam bentuk tulisan, gambar dan suara dapat menyebar luas dengan mudah di media sosial karena tanpa ada hambatan teknis, penyaringan norma, etika moral, agama, budaya, tata krama, dan kewarasan akal, katanya, Kamis (14/7).

Ia menambahkan hal tersebut terjadi karena media sosial tidak mengenal adanya redaktur, pemimpin redaksi dan penanggung jawab dari informasi yang disebarkan.

Pada media sosial yang ada cuma "admin" (administrator), pengatur lalu lintas informasi yang cenderung berfungsi sebagai "penggelontor" informasi tanpa sensor.

"Ini akibat maraknya budaya "copas" (copy and paste) dari kebanyakan orang, tanpa membaca dan mengerti apa isi informasi yang disebarkan, lanjutnya. (*)