Mentawai Bukan Lagi Tempat Buangan

id Mentawai, Objek Wisata, Sumbar

Mentawai Bukan Lagi Tempat Buangan

Ilustrasi.

"Tolong! Keindahan Terumbu Karang Mentawai di Indonesia DIHANCURKAN secara brutal. Silahkan tanda tangani petisi ini untuk membantu menghentikannya!," itulah salah satu pesan mendiang artis Hollywood Paul Walker tentang Mentawai.

Meski Paul Walker sudah meninggal pada 30 November 2013 di Los Angeles, AS, akibat kecelakaan mobil, pesannya akan tetap abadi di dunia maya.

Tidak banyak yang mengetahui kalau Walker yang dikenal melalui film laga "Fast and Furious" itu pernah membangun "rumah rahasia" di Mentawai dan menjadikan kepulauan yang berlokasi 150 km di lepas pantai Padang itu sebagai tempat berlibur, menyendiri sejenak dari hiruk pikuk kehidupan glamor dunia hiburan.

Aktor kelahiran 12 September 1973 itu memang memiliki hobi bermain surfing dan Mentawai dipilih karena memiliki ombak yang disebut-sebut terbaik di dunia setelah Hawaii.

Menurut Walker, seperti yang diberitakan majalah Men's Health, Kepulauan Mentawai ibarat surga tersembunyi yang terindah di dunia dan ia ikut prihatin dengan kerusakan terumbu karang akibat bom ikan oleh nelayan.

Rumah yang dibangun Walker bukanlah rumah mewah layaknya yang dimiliki bintang Hollywood, tapi lebih tepat disebut gubug karena dibangun sendiri dengan peralatan sederhana di tengah hutan dengan akses jalan yang juga dibuat sendiri.

Keberadaan Walker di Mentawai baru diketahui umum setelah wawancara khususnya dimuat oleh Men's Health serta ciutannya muncul di media sosial, berisi imbauan agar kerusakan terumbu karang di perairan Bumi Sikerei itu segera dihentikan.

Meski sampai sekarang tidak ada yang mengetahui secara pasti lokasi rumah rahasia yang dibangun Walker, setidaknya keberadaan dan keindahan Mentawai telah menyebar ke seluruh dunia melalui dunia maya, membuat banyak yang penasaran untuk mengunjunginya.

Sekelumit cerita mengenai Walker dan Mentawai setidaknya membuktikan bahwa Mentawai yang semula hanyalah sebuah gugusan kepulauan terisolir dan terbelakang, secara perlahan mulai bertransformasi menjadi daerah tujuan wisata, terutama bagi penggemar olahraga surfing.

Sebelumnya, terutama sebelum berubah menjadi kabupaten pada 1999, disadari atau tidak, Sumatera Barat selalu diidentikkan dengan Suku Minangkabau atau provinsi yang wilayahnya hanya berada di daratan Pulau Sumatera.

Posisi Kepulauan Mentawai yang berada sekitar 150 Km lepas Pantai Ibu Kota Padang, membuat daerah tersebut sering luput dari perhatian, apalagi dibutuhkan waktu minimal sepuluh jam untuk mencapai Mentawai dari Pelabuhan Muaro Padang. Bila cuaca buruk, transportasi akan terputus selama berhari-hari.

Perbedaan alam, budaya, agama yang sangat kontras dengan saudara mereka di daratan, serta sulitnya akses transportasi, membuat keberadaan suku Mentawai sering terlupakan. Mereka seolah berada di dunia lain yang tidak terjamah peradaban modern.

Sampai akhir 1990-an, sebelum mekar menjadi sebuah kabupaten sendiri setelah sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, Kepulauan Mentawai memang akrab dengan keterbelakangan dan keterisoliran.

Tidak mengherankan, jika ditempatkan di Mentawai bagi seorang pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu yang harus dihindari dan dianggap sebagai musibah atau hukuman.

Mulai Menggeliat

Seiring dengan terbentuknya kabupaten sendiri, pembangunan di Kepulauan Mentawai mulai menggeliat karena sudah punya otoritas untuk mengatur diri sendiri, lepas dari kabupaten induk di Padang Pariaman.

Meski sampai sekarang masih termasuk dalam kategori daerah tertinggal karena buruknya infrastruktur jalan dan sarana pelayanan masyarakat, Mentawai sudah mulai berbenah, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia.

Pegawai berprestasi di lingkungan pemerintah kabupaten, terutama putra daerah, diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri.

Hasnah Azmi, Kasubdit Manusia dan Masyarakat Badan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemkab Mentawai mengakui bahwa memang masih ada sebagian masyarakat di Sumatera Barat yang memandang sebelah mata keberadaan Mentawai.

"Tapi yang berpandangan seperti itu hanyalah generasi tua, sementara generasi muda berpandangan sebaliknya dan justru sangat antusias terhadap Mentawai dan ingin berkarir di sini," kata Hasnah, jebolan Sastra Inggris Universitas Andalas Padang, yang akrab disapa Nina itu.

Dalam beberapa tahun tahun terakhir, Mentawai sudah memperlihatkan geliat dan eksistensi sebagai daerah tujuan wisata andalan dan sering meraih kemenangan di berbagai ekspo di Sumatera Barat. Kementerian Pariwisata pun sudah mempersiapkan program nasional untuk menggelar Festival Mentawai secara rutin setiap tahun.

"Sekarang sudah banyak sarjana yang ingin bekerja di Mentawai karena kesejahteraan pegawai di sini lebih baik dibanding mereka yang bekerja di tepi (sebutan masyarakat lokal untuk daratan Sumatera Barat-red)," kata Nina, jebolan S2 dari Univeristas Melbourne, Australia, pada 2014 itu.

Menurut Nina yang sebelumnya bekerja di Dinas Pariwisata, Olahraga dan Pemuda Kabupaten Kepulauan Mentawai itu, meningkatnya kehidupan ekonomi masyarakat setempat tidak terlepas dari semakin banyaknya kunjungan wisatawan, terutama wisatawan asing yang gemar bermain surfing.

Saat ini, terdapat lebih dari 20 resort dengan fasilitas bintang lima yang sebagian dimiliki oleh orang asing, bekerja sama dengan masyarakat lokal. Hampir semua resor tersebut berada di lokasi strategis untuk bermain surfing.

Selain wisata bahari, wisata budaya ke pedalaman juga memberikan sensasi tersendiri karena wisatawan bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat yang masih menganut kepercayaan asli leluhur mereka.

Wisatawan diajak bergabung dengan penduduk asli untuk mengikuti upacara adat, berburu di hutan, mencari ikan di sungai, membuat pakaian dari kulit kayu, membuat tatto, mengolah sagu menjadi makanan pokok, atau mencari ulat sagu.

Pendapat yang sama disampaikan oleh Bestalman Falmas, pegawai PT Salaki Summa Sejahtera, perusahaan pengelolaan hutan produksi di Siberut Utara.

Menurut pria lulusan Fakultas Kehutanan IBP Bogor yang sudah sembilan tahun bekerja di Mentawai ini, secara umum pandangan bahwa Mentawai sebagai tempat buangan sudah semakin menghilang seiring dengan semakin terbukanya kawasan tersebut.

"Sumber daya manusia masyarakat lokal juga sudah semakin meningkat karena sudah banyak yang melanjutkan pendidikan tinggi ke Padang atau kota lain di pulau Jawa, bahkan luar negeri," kata Bestalman.

Baik Nina maupun Bestalman menyatakan keyakinannya bahwa suatu saat Mentawai akan muncul sebagai pusat wisata surfing terbaik di Tanah Air jika pembangunan infrakstruktur seperti jalan dan sarana pendukung lain sudah memadai.

Bahkan Nina yang melihat jauh ke depan mengenai prospek wisata Mentawai, sudah membeli sebidang tanah di tepi pantai di Tuapejat untuk dijadikan semacam homestay atau tempat reuni jika ada teman-temannya dari Padang yang datang berkunjung. (*)