Kasus Ahok, Akademisi Nilai Tuntutan Jaksa Abaikan Sensitivitas

id kasus Ahok

Padang, (Antara Sumbar) - Akademisi Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat, Miko Kamal Phd menilai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus Ahok yaitu penjara satu tahun dan masa percobaan dua tahun tidak memiliki sensitivitas terhadap tuntutan publik.

"JPU tidak memiliki sensitivitas terhadap tuntutan publik yang menginginkan terjaganya harmoni antar umatberagama yang selama ini dipraktikkan," kata dia di Padang, Kamis.

Menurut dia, meskipun majelis hakim tidak harus terikat dengan tuntutan JPU dalam menjatuhkan hukuman, tuntutan tersebut patut diduga sebagai upaya pemasungan terhadap majelis hakim agar menjatuhkan hukuman ringan terhadap terdakwa.

Tuntutan JPU tersebut seakan mengonfirmasi bahwa penistaan terhadap sebuah agama bukanlah delik serius, padahal selama ini pasal tersebut yang menjadi penjaga hubungan antarumat beragama agar masing-masing pemeluk agama tidak masuk ke arena terlarang yang sensitif tersebut, kata dia.

Ia menilai dengan fakta tuntutan ini, sulit membantah buruknya wajah penegakan hukum dipengaruhi oleh jabatan Jaksa Agung yang diisi oleh kader partai politik.

Terkait ini, Presiden Jokowi sudah saatnya mengevaluasi keputusannya yang memberikan jabatan strategis seperti Jaksa Agung kepada kader partai, katanya.

Sementara Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) Ali Mukartono menyatakan penggunaan Pasal 156 untuk menuntut Ahok berdasarkan fakta hukum.

Terkait pihaknya yang menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun terhadap Ahok, Ali menyatakan itu sudah sesuai dengan hal yang memberatkan dan meringankan oleh terdakwa.

"Sudah disampaikan yang memberatkan apa dan yang meringankan apa. Tetapi jangan dikatakan ringan atau tidak, itu relatif. Kami kalau memuaskan semua pihak tidak bisa, kan begitu. Kami punya pertimbangan sendiri, independen," ucap Ali.

Ali menyatakan sepanjang pemeriksaan dalam persidangan telah didapat fakta kesalahan terdakwa dan tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar atas perbuatan terdakwa tersebut sehingga perbuatan terdakwa harus dijatuhi pidana.

"Pertimbangan memberatkan, perbuatan terdakwa menimbulkan keresahan masyarakat dan menimbulkan kesalahpahaman masyakarat antar golongan rakyat Indonesia," tuturnya.

Hal meringankan kata dia, terdakwa mengikuti proses hukum dengan baik, sopan di persidangan, ikut andil membangun Jakarta, mengaku telah bersikap lebih humanis, dan timbulnya keresahan masyarakat karena adanya unggahan oleh orang bernama Buni Yani. (*)