KPK akan Periksa Bambang Subianto

id Febri Diansyah

KPK akan Periksa Bambang Subianto

Juru Bicara KPK Febri Diansyah. (Antara)

Jakarta, (Antara Sumbar) - KPK akan memeriksa Menteri Keuangan periode 1998-1999 Bambang Subianto dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin.

Bambang juga diketahui mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pertama.

Selain memeriksa Bambang, KPK dijadwalkan memeriksa mantan pegawai BPPN Hadi Avilla Tamzil juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Sebelumnya, dalam penyidikan kasus itu, KPK mempertimbangkan bekerja sama dengan Interpol untuk mendatangkan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim yang berada di Singapura.

Sjamsul merupakan saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada BDNI yang menyebabkan kerugian negara Rp3,7 triliun.

"Nanti kalau memang ada kebutuhan lain sehingga kami perlu kerja sama dengan Interpol sesuai dengan aturan hukum yang ada tentu kami perlu pertimbangkan dengan serius," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (8/6) malam.

Selain itu, kata Febri, untuk mencari keberadaan Sjamsul itu di Singapura, KPK juga akan melakukan kerja sama dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura.

"Karena untuk kerja sama dengan memasukan seseorang ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) itu tidak bisa dilakukan pada saksi hanya bisa dilakukan pada tersangka misalnya," ucap Febri.

KPK juga telah memanggil Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri periode 1999-2000 Kwik Kian Gie sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Tadi tentang Dipasena, mengenai SKL yang telah diberikan," kata Kwik di gedung KPK, Jakarta, Selasa (6/6).

Ia pun mengakui terdapat kerugian negara Rp3,7 triliun dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

"Saya katakan, setahu saya iya," kata Kwik yang juga Kepala Bappenas periode 2001-2004 itu.

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara. (*)