Menjawab Kekhawatiran Kepala Sekolah Soal Pungutan Liar

id Pungutan Liar, Sekolah, Tahun Ajaran Baru

Menjawab Kekhawatiran Kepala Sekolah Soal Pungutan Liar

Ilustrasi - stop pungutan liar.

Memasuki tahun ajaran baru 2017, sejumlah kepala sekolah dan tenaga pendidik di Kota Padang khawatir akan terseret persoalan hukum terkait penerimaan peserta didik baru.

Kekhawatiran tersebut dipicu oleh aksi penangkapan seorang kepala sekolah oleh Polresta Padang atas dugaan telah melakukan pungutan liar dalam proses penerimaan siswa baru di sekolah itu pada 12 Juni 2017.

Kepala Madrasah Tsanamiyah Negeri Model Gunung Pangilun Padang Chandra Karim (45) dan wakilnya Jandras (41) ditangkap di sekolah bersama barang bukti uang tunai sebesar Rp18.880.000.

Kepala sekolah diduga akan menerima murid sebanyak 80 orang melalui jalur khusus dengan memungut uang mulai dari Rp1,5 juta hingga Rp3 juta.

Mirisnya praktik serupa telah dilakukan selama dua tahun di sekolah unggul tersebut.

Sejak itu muncul keresahan di kalangan kepala sekolah dan guru karena khawatir akan bernasib serupa harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Menurut Asisten Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Barat Adel Wahidi pihaknya banyak menerima pertanyaan dari kepala sekolah dan komite terkait pungutan dana pendidikan dari masyarakat karena khawatir akan terjerat menjadi pelaku pungutan liar.

Banyak kepala sekolah dan komite yang bertanya ke Ombudsman apakah permintaan uang yang biasa dilakukan pada tahun ajaran baru masuk kategori pungutan liar atau tidak.

"Ada diantaranya yang bertanya lewat telepon, datang bersama-sama ke kantor Ombudsman hingga meminta saran," ujarnya.

Seharusnya hal ini tidak akan terjadi jika sudah ada regulasi yang jelas dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Ia menilai Dinas Pendidikan terkesan lamban menyikapi hal ini, padahal untuk sementara dapat saja menerbitkan surat edaran atau membuat regulasi setingkat peraturan Gubernur, guna mengatur pendanaan pendidikan oleh komite dan masyarakat.

Di beberapa kabupaten dan kota, ada aturan kepala daerah tentang pendanaan pendidikan oleh komite, tapi sekarang tidak berlaku lagi karena kewenangan SMA berpindah ke provinsi.

Adel menegaskan secara aturan pihak sekolah dilarang memungut biaya pendaftaran saat penerimaan peserta didik baru karena hal tersebut masuk kategori pungutan liar.

"Jangankan memungut biaya pendaftaran, meminta uang untuk membeli map saja sekolah dilarang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru," ujarnya.

Semua biaya terkait dengan penerimaan peserta didik baru ditanggung oleh dana Bantuan Operasional Sekolah sehingga sekolah dilarang memungut biaya kepada orang tua murid.

Apalagi kalau ada yang mengimingi membayar sekian calon siswa dijanjikan akan diterima, ini sudah masuk kategori pungli dan dapat ditindak secara hukum.

Kemudian jika ada sekolah yang memaksa orang tua membeli seragam saat pendaftaran juga dilarang karena wali murid diberi kebebasan membeli pakaian.

Kecuali jika pakaian tersebut merupakan identitas khusus sekolah, namun syaratnya harus dijual sesuai harga pasar dan melalui koperasi sekolah, kata dia.

Dia meminta sekolah transparan dalam mengumumkan kuota siswa yang diterima untuk mencegah celah terjadi pungutan liar.

Kepada orang tua, Ombudsman mengimbau agar jangan mau membayar uang kepada sekolah dengan dalih anaknya akan diterima karena semua biaya dalam proses penerimaan gratis.

"Kalau ada yang meminta uang laporkan kepada aparat penegak hukum," katanya.

Dalam penerimaan peserta didik baru, celah penyimpangan yang rawan terjadi adalah permintaan uang, kesalahan prosedur, permainan kuota penerimaan serta tidak transparannya pihak sekolah.





Regulasi

Ombudsman Sumbar berharap Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera segera memberi solusi untuk menjawab keresahan kepala sekolah, dan mencegah terjadinya penyimpangan pelayanan publik agar tidak terjadie pungli.

Fungsi Dinas Pendidikan ini siginifikan dalam hal ini yaitu membina dan membuat regulasi turunan yang mudah dipahami oleh kepala sekolah.

Dinas Pendidikan dapat merujuk pada ketentuan yang lebih tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan Permendikbud 75/2016 tentang Komite Sekolah.

Anggota Komisi IV DPRD Padang Muharlion menyarankan Dinas Pendidikan segera membuat regulasi sebagai payung hukum soal pungutan di sekolah.

Sejak adanya Tim Sapu Bersih Pungutan Liar, para kepala sekolah dan guru resah. Mereka khawatir kebijakan yang sudah dibuat sekolah selama ini masuk kategori pungli sehingga bisa ditangkap, kata dia.

Payung hukum tersebut mendesak untuk dibuat agar pengelola pendidikan di tingkat sekolah tidak berada pada wilayah abu-abu.

Jadi jelas batasannya mana yang masuk kategori pungutan, mana yang liar dan mana yang sumbangan, ujarnya.

Jika regulasi tersebut tidak segera dibuat dikhawatirkan pengelola sekolah akan ragu-ragu dalam mengambil kebijakan yang pada akhirnya berpengaruh pada proses belajar.

Disdik bisa berkoordinasi dengan Bagian Hukum Pemkot Padang dan melakukan kajian mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.

Selama ini sudah ada program pendidikan gratis namun yang baru ditanggulangi adalah sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), sementara jika kondisi sekolah tersebut bangunannya butuh perbaikan tentu perlu biaya.

Padahal di mata publik kalau sudah menyebut sekolah gratis artinya tidak ada biaya yang dikeluarkan sama sekali.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Sumbar Burhasman mengatakan pungutan liar definisinya adalah pungutan yang sengaja dilakukan dengan memaksa orang untuk membayar sesuatu yang tidak seharusnya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Kalau pungutan yang dilakukan untuk kepentingan lembaga pendidikan berdasarkan kesepakatan bersama maka hal itu tidak ada masalah asal sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Kemudian juga harus dibuat batasan yang jelas mana yang masuk kategori sumbangan dan mana yang masuk pungutan agar bisa dibedakan secara teknis.

Burhasman mengakui dengan dibentuknya Tim Sapu Bersih Pungutan Liar dan operasi tangkap tangan membuat pengelola sekolah cukup khawatir apakah pungutan yang dilakukan selama ini masuk kategori pungutan liar.

Namun pada sisi lain ia menyoroti wacana pendidikan gratis yang selama ini mengemuka karena dalam regulasi tidak ada nomenklatur pendidikan gratis, yang ada hanya tanggung jawab pemerintah dengan menjamin pendidikan dasar serta melarang pungutan pada tingkat dasar serta warga negara wajib berkontribusi.

Masyarakat juga wajib berkontribusi dalam pendidikan dan yang dibebaskan itu adalah mereka yang tidak mampu.

Sudah saatnya semau pemangku kepentingan bersinergi memberangus pungutan liar dalam dunia pendidikan, peran tersebut tidak hanya ranah penegak hukum namun smeua pihak harus andil termasuk orang tua siswa. (*)