Alumni UBH Tolak Hak Angket Terhadap KPK

id Miko Kamal

Alumni UBH Tolak Hak Angket Terhadap KPK

Miko Kamal. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Ikatan Keluarga Besar Alumni (IKBA) Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta (UBH) Padang, Sumatera Barat menolak penggunaan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena dinilai sebagai bentuk pelemahan terhadap lembaga pemberantasan korupsi tersebut.

"Selain bertentangan dengan undang-undang pengajuan hak angket juga tidak bagus dalam upaya bangsa ini memberantas korupsi karena bisa meninggalkan preseden buruk," kata Ketua Umum IKBA UBH Miko Kamal di Padang, Kamis.

Apalagi, katanya menambahkan DPR RI akan membentuk pansus ketika kolega mereka dijadikan tersangka oleh KPK.

Menurutnya dalam pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) menyatakan Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undangatau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

"Maka secara hukum yang menjadi objek hak angket adalah kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian," ujar dia.

Kemudian menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), KPK adalah lembaga negara yang yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan manapun adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individu dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun, lanjut dia.

Tidak hanya itu terkait dengan pertanggungjawaban KPK dalam menjalankan tugas sudah disebutkan di dalam pasal 20 UU KPK, yaitu KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, DPR RI Indonesia, dan BPK.

"Pertanggungjawaban publik tersebut dilaksanakan dengan cara wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan program kerja, menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi," kata dia.

Ia melihat dalam praktiknya, apa yang dilakukan oleh Pansus Hak Angket tersebut telah mempengaruhi proses penyidikan yang sedang dilakukan KPK dalam kasus korupsi penggadaan E-KTP karena saat ini beberapa nama anggota dan mantan anggota DPR RI disebut-sebut menerima aliran dana E-KTP.

Oleh karena itu, Pansus Hak Angket yang bersikukuh mengatakan mempunyai kewenangan memanggil pimpinan KPK sebagaimana menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3 adalah keliru, karena hak angket tersebut melakukan penyidikan pelaksanaan suatu undang-undang kebijakan yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat.

Ia menilai dalam konteks ini, terlalu berlebihan mengkategorikan kasus korupsi yang melibatkan beberapa oknum anggota dan mantan anggota DPR RI tersebut sebagai kasus yang penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Pada sisi lain ia mengatakan sebagai lembaga negara, KPK yang diberi kewenangan luas dibanding lembaga penegak hukum lainnya tidak terlepas dari kekurangan namun bukan berarti KPK harus diamputasi atau dilemahkan.

Sebagai lembaga yang masih diharapkan oleh masyarakat, KPK harus terus didukung dan diawasi supaya menjadi lembaga anti korupsi yang lebih kuat dan tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dan menjadikan alasan untuk melemahkan KPK, ujar dia.

Ia menambahkan dalam mendukung upaya perbaikan terhadap beragam kekurangan dalam pelaksanaan kewenangan KPK tersebut dapat dibentuk pengawas independen KPK. (*)