Jurnalisme Sastrawi Ada Sejak Abad ke-16

id Jurnalisme Sastrawi Ada Sejak Abad ke-16

Denpasar, (Antara) - Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana Prof Dr Nyoman Darma Putra mengatakan jurnalisme sastrawi sebenarnya sudah ada sejak abad ke-16. "Itu dibuktikan dalam buku Negara Kertagama yang melukiskan cerita Raja Majapahit, Hayam Wuruk yang berkunjung ke desa-desa," katanya pada acara bedah buku berjudul "Sastra Jurnalistik-Menyelisik Mafia Hukum" karya Teguh Hadi Prayitno, di Denpasar, Sabtu malam. Kegiatan bedah buku tersebut diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, bekerja sama dengan Dapur Olah Kreatif (DOK) dan portal beritabali.com. Buku ini adalah hasil penelitian Teguh Hadi Prayitno atas novel karya Arswendo Atmowiloto yang berjudul "Abal-Abal." Buku ini adalah pengembangan dari tesis yang ia tulis saat merampungkan magister Ilmu Susastra di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Abal-abal adalah novel yang bercerita tentang praktik mafia hukum. Sebuah novel hasil investigasi Arswendo Atmowiloto saat di penjara. Darma Putra menyatakan sebelum Teguh membawa istilah "Sastra Jurnalistik", sebelumnya telah dikenal jurnalisme sastrawi, yakni penulisan berita dengan gaya sastra. Media yang dikenal dengan gaya penulisan jurnalisme sastrawi adalah Majalah Tempo. "Tempo telah menerapkan jurnalisme sastrawi dengan ciri khas penulisan cerita di balik berita, penulisannya dengan gaya sastra yang enak dibaca, beda dengan koran maupun media online yang jarang menerapkan jurnalisme sastrawi," ujar Dharma Putra. Jurnalisme sastrawi, lanjut Darma Putra sebenarnya sudah ada sejak abad ke 16. Ada juga cerita perjalanan Bujangga Manik dari Jawa Barat ke Bali pada abad tersebut. Catatan perjalanan Bujangga Manik ini juga dibuat dengan gaya jurnalisme sastrawi. "Abad 16 itu Bujangga Manik sudah menceritakan perjalannya ke Bali hingga ke Klungkung. Waktu itu Bujangga Manik sudah menulis, bahwa kondisi Bali pada waktu itu sumpek, tidak bagus untuk meditasi," ujarnya. Selain contoh di atas, karya sastra-sastra tempo dulu, seperti kumpulan cerpen tempo dulu yang di sunting oleh Pramoedya Ananta Toer misalnya, juga sudah bergaya jurnalisme sastrawi. Terkait buku "Sastra Jurnalistik" karya Teguh Hadi Prayitno, Dharmaputra meminta agar Teguh memperkuat klaimnya atas istilah "Sastra Jurnalistik" dengan memberi lebih banyak contoh-contoh sastra dalam bukunya. "Buku mas Teguh ini belum merupakan teori, tapi masih analisis dari novel Abal-Abal. Menurut saya, judul buku ini cocoknya novel jurnalistik, bukan sastra jurnalistik, karena belum banyak istilah atau contoh karya sastra yang terdapat dalam buku ini," kiata Darma Putra mengkritik. Setiap pelabelan itu menarik, namun pelabelan ini juga bisa dibaca sebagai gerakan merendahkan sastra. Dengan adanya pelabelan, muncul pemikiran sastra tidak usah dilabel. Baik itu sastra koran atau sastra jurnalistik, itu sebenarnya tidak penting. Sementara penulis buku tersebut, Teguh Hadi Prayitno mengatakan istilah sastra jurnalistik berbeda dengan jurnalisme sastrawi. "Istilah sastra jurnalistik ini baru, sebelumnya saya cek di google, belum ada tertuliskan. Setelah buku saya muncul, baru istilah ini muncul di google.com," katanya. Teguh menjelaskan perbedaannya jurnalisme sastrawi telah dikenal lama di dunia barat dan kemudian diadopsi di Indonesia. Jurnalisme sastrawi ini merupaka karya jurnalistik yang menggunakan bahasa sastra. Hasil karyanya tetaplah sebuah fakta dan bukan fiksi. Sementara sastra jurnalistik merupakan sebuah karya sastra dimana dalam proses membuatnya si pengarang bisa seorang jurnalis atau bukan. "Tapi dia (pengarang) melakukan proses seperti kerja jurnalis, investigasi reporting di lapangan, kemudian dituangkan sebagai sebuah karya sastra. Namun ketika menjadi sebuah novel, hasil karya ini tetaplah sebuah fiksi, meskipun dia sesungguhnya adalah sebuah fakta," katanya. (*/wij)